Thursday, November 14, 2013

.: Memilah sampah :.

Musim hujan telah tiba, maka banjir pun mulai bermunculan di sejumlah daerah.

Kemarin malam saat menyaksikan tayangan berita di salahsatu stasiun TV lokal, saya merasa miris di saat pemerintah setempat dituntut untuk segera menyelesaikan permasalahan banjir (yang diwariskan semenjak jaman pemerintahan Belanda).
Di lain pihak warga yang bermukim di pinggiran kali sungai tanpa merasa bersalah membuang sampah seenaknya, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari sampah yang terbawa aliran sungai.


Sementara dinas setempat mengeruk ratusan kilo sampah dari pintu air untuk mengurangi resiko banjir, ternyata masih banyak orang yang membuang sampah sembarangan di jalan, maupun di pinggir kali, sehingga menyebabkan penyumbatan aliran air.

Jangan salahkan (hanya) pemerintah kalau banjir, selama kita masih membuang sampah sembarangan.

Jadi teringat saat saya tinggal selama setahun lebih di beberapa negara Eropa, dimana banyak hal bisa saya pelajari dari cara mereka mengelola sampah.

Amsterdam contohnya, walaupun berada di bawah permukaan laut tapi kota pusat perekonomian negeri Belanda ini hampir tidak pernah dilanda banjir.
Sistem tata kota-nya memang dibuat sedemikian rupa, dengan banyak kanal dan sistem pemompaan untuk mencegah banjir. Sehingga walaupun curah hujan tinggi hampir sepanjang tahun tapi saya tidak pernah menemui atau mengalami yang namanya kebanjiran.

Di sana juga sangat haram hukumnya membuang sampah sembarangan. Bahkan saat diadakan festival besar atau perayaan dimana banyak orang biasanya minum-minum dan mabuk, mereka masih bisa membuang sampah pada tempatnya. Ini ajaib, artinya kesadaran membuang sampah pada tempatnya begitu melekat di tiap orang.

Sampah juga dipilah karena setiap sampah mendapat perlakuan berbeda.

Sampah organik atau sampah basah (sisa makanan, sayuran, buah, dst) harus ditempatkan dalam kantung plastik berwarna khusus. Malahan di beberapa bagian Prancis, setiap rumah memiliki biopori untuk membuang sampah organik/ sisa makanan ini.


Lalu sampah kertas seperti dokumen, surat, kemasan makanan dari karton harus ditempatkan terpisah pada satu kontainer yang khusus untuk sampah kertas.

Sedangkan sampah plastik (bekas minuman/ makanan) juga mendapat tempat sendiri, dan beberapa botol minuman plastik ukuran besar bahkan bisa ditukarkan dengan uang jika kita mengembalikan ke tokonya.

Ada juga kontainer khusus untuk membuang sampah gelas, karena gelas ini harus dihancurkan sehingga tempatnya terpisah.

Memang kesannya ribet karena setiap orang berarti harus memilah sampah yang dihasilkannya.

Apakah semua orang mau menjalankan aturan ini?

Saya lihat kebanyakan penduduk asli Belanda dan yang sudah lama tinggal sepertinya terbiasa dengan aturan ini, jadi mereka menjalankan tanpa ada masalah. Dan ngobrol-ngobrol dengan ibu kos saya (orang asli Denmark) dia sendiri merasa sudah menjadi kewajiban kalau setiap orang memilah sampah.
Dengan memilah sampah, mereka merasa melakukan sesuatu yang berguna untuk menjaga lingkungan tempat tinggalnya.

Yang tidak ikut aturan ini biasanya adalah teman-teman kuliah yang merupakan pendatang dari negara berkembang contoh, Bangladesh, Pakistan bahkan sesama orang Indonesia sendiri.

Mungkin kita tidak terbiasa diajarkan bahwa sampah yang kita hasilkan adalah tanggung jawab kita. Dengan membuangnya keluar rumah, kita merasa bahwa 'urusan sampah' tersebut beres dan lepas sudah tanggung jawab kita.

Persepsi inilah yang dimiliki kebanyakan orang Indonesia pada umumnya, yang juga menyebabkan masalah sampah tidak akan pernah selesai selama penanganannya selalu diserahkan pada pemerintah.

Sebanyak apapun tempat sampah yang dibeli oleh dinas kebersihan, ataupun sesering apapun sampah dikeruk dari sungai tidak akan menyelesaikan masalah banjir selama mayoritas orang masih membuang sampah sembarangan.

Saya percaya kalau kita ingin perubahan yang baik, harus dimulai dari diri sendiri dahulu.

Oleh karena itu, beginilah sampah diperlakukan di rumah saya.

Sampah sisa makanan sebisa mungkin dikumpulkan di ember terpisah (dan nanti diolah sehingga bisa dipergunakan sebagai pupuk).
Sedangkan sampah yang berasal dari kulit buah atau sayuran dapat dibuat enzim sampah atau eco-enzim. Eco-enzim ini berguna sebagai cairan pembersih rumah tangga dan juga ramah lingkungan karena dapat mengurangi banjir akibat tersumbatnya saluran.
Selain sifatnya yang organik, ampas sampah dari eco-enzim tersebut juga dapat berguna sebagai pupuk.

Botol-botol atau sampah plastik (bekas minuman, shampoo atau sabun) juga biasanya dikumpulkan dan disimpan dalam kantung terpisah untuk diambil pemulung.

Sampah kertas (dokumen, karton, kemasan kertas) biasanya saya kumpulkan juga untuk diserahkan ke tukang loak.

Semenjak pertemuan saya dengan komunitas Sadar Lingkungan (MyDarling: dapat dibaca disini) saya juga mengumpulkan bungkus kopi/ teh instan/minuman instan agar bisa dijadikan bahan baku untuk pembuatan kerajinan tangan (dompet, tas).

bekas kemasan minuman instan ini bisa diolah lagi jadi kerajinan tangan

dompet yang terbuat dari bekas kemasan teh instan

Setelah lebih jauh berdiskusi dengan teman-teman di komunitas MyDarling dekat TPS Cibangkong, ternyata salahsatu kesulitan yang mereka hadapi adalah kurangnya bahan baku untuk pembuatan kerajinan tangan ini.

Saat ini produk dompet dan tas yang mereka buat dari bekas bungkus kemasan memang sudah diekspor hingga keluar negri dan banyak permintaan juga dari pameran.

Saya jadi mengingat jaman dulu waktu masih kerja kantoran, ada berapa banyak bungkusan kopi/ minuman instan yang terbuang percuma di tempat sampah. Yang mana bila diserahkan ke tangan ibu Sri dan kawan-kawan di Cibangkong maka sampah tersebut bisa diolah menjadi produk yang punya nilai jual dan mendatangkan penghasilan tambahan.

Mungkin pak walikota Ridwan Kamil bisa membantu teman-teman di Cibangkong; setelah hari khusus untuk bersepeda dan berbahasa Sunda, ada baiknya jika dicanangkan juga hari khusus untuk 'Setor Sampah'.

Siapa tau ini bisa jadi salahsatu solusi untuk mencegah banjir dengan mengurangi sampah plastik daripada dibuang begitu saja ....

Sunday, October 20, 2013

Re-use the unused .: Belajar ilmu mengelola sampah :.

Ya sekian lama menghilang dan belum sempat update blog ini, akhirnya saya kembali lagi dengan posting tentang mengelola sampah.

Tapi sebelumnya, ada yang ingin saya bagikan sedikit saat-saat dimana saya 'menghilang'.

Sebagian karena kesibukan pekerjaan yang cukup menyita energi dan bulan-bulan terakhir karena kesibukan berlibur, untungnya.
Berlibur ke tempat diluar Indonesia memberi saya kesempatan untuk belajar tentang bagaimana orang luar mengelola hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat.

Contohnya, saat berada di Prancis selatan, sering saya perhatikan saat iklan makanan cepat saji ditayangkan di televisi- selalu dibawahnya tertera tulisan "makanan yang dimakan setiap hari harus dalam porsi seimbang, tidak boleh terlalu banyak (jumlahnya), tidak mengkonsumsi banyak gula dan garam".
Lalu saat iklan minuman ringan atau makanan instan ditayangkan, ada juga pesan serupa berbunyi,
"demi kesehatan, setiap hari harus mengkonsumsi sayuran dan buah dalam porsi cukup.
"

Ini adalah sebuah contoh bahwa pemerintah setempat peduli dengan kesehatan warganya.
Bahwa dampak buruk dari sering mengkonsumsi makanan cepat saji tentunya sudah diketahui banyak orang. Dengan adanya peringatan seperti ini (dan diulang-ulang) maka pemirsa diseimbangkan dengan informasi dan pilihan cara hidup yang lebih sehat.


Banyak lagi ilmu tentang kesehatan masyarakat yang didapat dari hasil 'studi banding' tersebut, tapi yang ingin saya bagikan sekarang adalah ilmu yang dari negri sendiri.

Ilmu ini didapat dari sebuah tempat pengelolaan sampah di Cibangkong, suatu daerah tak jauh dari tempat Trans Studio Bandung berdiri.

Hari Sabtu kemarin saya dan seorang teman berkesempatan untuk mengunjungi langsung tempat dimana Masyarakat Sadar Lingkungan (MyDarling), yang di-inisiasi oleh ibu Dewi Kusmiati.
Sayangnya, walaupun sebenarnya saya janjian dengan ibu Dewi tapi saat berada disana ternyata beliau sedang berada di RT lain untuk Sekolah Ibu.

Sekolah Ibu ini juga bagian dari program beliau, dimana ibu-ibu diajarkan cara membuat kerajinan dengan sampah sebagai bahan dasarnya.

Dari mana saya mengenal ibu Dewi Kusmiati?

Saat menyaksikan beliau diwawancara untuk KickAndy di MetroTV.
Kekaguman saya terhadap ibu Dewi, yang hidup dari sampah dan mampu memanfaatkan sehingga mempunyai nilai jual, sehingga memberi penghidupan bagi keluarganya dan sekitarnya.

Walaupun alamat yang diberikan beliau kurang jelas, ternyata mudah saja menemukan tempat pengelolaan sampah. Karena rupanya kinerja beliau sudah dikenal di lingkungan sekitarnya, cukup tanya orang saja pasti ketemu.

Karena ibu Dewi mengajar di Sekolah Ibu pada saat saya berkunjung, maka sebagai gantinya ada ibu Sri- sebagai narasumber tentang membuat kerajinan tangan dari sampah.

Ibu Sri ternyata memang dipercaya oleh ibu Dewi, untuk memegang divisi pembuatan kerajinan tangan berupa dompet, tas dari bekas kemasan. Sedang ibu Dewi sendiri  lebih fokus pada pengelolaan sampah organik sebagai bahan pupuk cair.

Menurut pemaparan Ibu Sri, bahan dasar yang dibutuhkan untuk pembuatan kerajinan ini bisa berupa bungkus kopi/teh instan (merk gak usah disebut ya). Bisa didapat dari pemulung, atau minta ke warung, atau office boy kenalan (karena di kantor kan biasanya sering ngopi/ ngeteh).
Tentu saja sebelum dijadikan bahan dasar semua bekas kemasan itu harus dicuci/ dibersihkan dahulu.


Satu dompet kecil saja ternyata bisa membutuhkan 66 buah kemasan kopi/teh instan!

Waktu saya tanyakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu buah dompet, ibu Sri sendiri tidak bisa menjawab. Karena mereka melakukan pekerjaannya bersama-sama, ada satu orang yang melipat, satu orang menjahit, satu orang memasang ritsleting.


Hasilnya? Bener-bener rapih dan bagus. Sama sekali tak terlihat seperti sampah lagi pastinya.

Dan saya pun membeli satu dompet yang kecil (untuk tempat uang receh).
Memilih dompet ini proses yang agak sulit karena semua motifnya terlihat menarik, tapi akhirnya pilihan saya jatuh pada dompet yang berbahan dasar bekas kemasan teh tarik [gambar di bawah].



Selain dari bekas bungkus minuman instan, ibu Sri juga menunjukkan sebuah dompet yang terbuat dari bekas plastik yang sering dikasih toko Y*ogya.


Bahan dasar plastik seperti ini proses pembuatannya lebih sulit, makan waktu lebih lama, sehingga harganya juga lebih mahal. Tapi keuntungan dari beli dompet ini tentunya sih waterproof/ tahan air.

Selain menimba ilmu, saat berkunjung ini juga saya berbagi ilmu (dan dua buah botol) enzim buah dari bekas kulit buah untuk ibu Sri dan ibu-ibu lainnya.
Walaupun tampang ibu-ibu ini 'ndeso' tapi mereka sudah mengerti tentang konsep organik dan langsung antusias untuk membuat enzim buah/ eco-enzyme sendiri saat saya jelaskan apa kegunaannya.

Berikut link tentang penjelasan lebih jauh apa itu enzim buah/ eco-enzim buat yang mau bikin sendiri di rumah : )

https://www.facebook.com/klubvegetarian/posts/378731538817074

http://www.sobatbumi.com/solusi/view/182

http://suprememastertv.com/ina/services_subt.php?bo_table=pe_ina&wr_id=123&subt_cont=&show=aw&flag_s=


Berkontribusi bagi bumi yang lebih baik itu sebenarnya mudah, asal kita mau sedikit 'berusaha'.
Mulailah dari diri sendiri untuk sebuah perubahan, dari hal yang paling sederhana, dan mulai dari sekarang.

Monday, March 19, 2012

Bandung (Indonesia) kapan bebas asap rokok?

Baru saja minggu kemarin saya menghadiri sebuah acara publik bertemakan kuliner di kota tempat kelahiran saya ini. Ya Bandung memang gudangnya pecinta makanan dan inovasi yang bertemakan kuliner . . . . jadi wajar sih kalau disini banyak menerima kunjungan dari warga luar kota setiap akhir pekan.

Konsep acara yang diselenggarakan setahun sekali ini cukup bagus, karena selain mengundang vendor produk makanan, juga ada acara band, art performance, juga tenant fashion dan desain produknya okay.


Selama berada disana, memang penyelenggaraannya terkesan profesional sekali.
Di pintu masuk bisa dilihat ambulans dan pemadam kebakaran yang berjaga-jaga.

Juga ada cooking live performance dan juga suguhan atraksi bertemakan kuliner yang menarik selain pilihan makanan yang beragam.

Sayangnya, sebentar saja bolak balik di tempat itu mata saya mulai terasa perih.
Yah memang ada beberapa orang yang mondar-mandir di ruangan terbuka itu sambil merokok.
Tidak banyak sih, hanya beberapa oknum saja tapi merata di semua penjuru.
Karena tersebar di setiap titik itulah hampir-hampir tidak ada daerah yang bebas asap rokok.


bw pacarngerokok sambil gandeng pacar . . . that is so uncool !


bw anak:: ngerokok sambil bawa anak ::
membiasakan dari kecil kena asap rokok ya nak


Apakah karena acara ini diadakan di ruangan terbuka maka setiap orang merasa bebas untuk merokok?

Memangnya larangan untuk merokok itu hanya kalau berada di ruangan memakai AC saja?

Belakangan saya ketahui dari panitia penyelenggara acara bahwa mereka sesungguhnya sudah menyediakan smoking corner atau sudut merokok khusus supaya para perokok tidak menyebarkan asap kemana-mana.

Sayang sekali, padahal rasanya saya ingin tinggal lebih lama, tapi mata sudah tidak kuat terekspos asap rokok. Juga ibu saya sudah mulai sesak nafas dan kesal kena asap rokok dari orang-orang sekitar.

Baru hari ini juga saya membaca posting dari Aliansi Bandung Bebas Asap Rokok membahas soal permasalahan yang sama.
baca: Mall berkonsep ruang terbuka.

Saya menyadari sesungguhnya banyak orang (terutama yang tidak merokok atau sudah berhenti merokok) selain saya sendiri yang sesungguhnya merasa terganggu dengan adanya asap rokok.

Tapi kenapa sepertinya kita tidak mempunyai hak untuk mengutarakan bahwa kita ingin udara bersih dan bukannya udara yang terkontaminasi asap rokok?

Kenapa orang-orang yang tidak merokok cenderung untuk bertoleransi kepada mereka yang merokok tapi tidak sebaliknya?

Dikatakan dalam blog VOA bertajuk 'Lebih 43 Juta Anak di Indonesia Terpapar Asap Rokok' tgl 18 Maret bahwa Indonesia mengkonsumsi 220 miliar batang rokok per tahun (!) sebagai konsumen terbesar no 3 di dunia setelah Cina dan India (yang juga jumlah penduduk terbanyak di bumi ini).
Akibatnya, tanpa bisa memilih ada lebih dari 43 juta anak di Indonesia hidup bersama perokok dan terpapar asap rokok yang berbahaya, yang juga sumber penyakit saluran pernafasan pada anak.

Bayangkan berapa besar keuntungan yang diraup perusahaan produsen rokok di Indonesia dari volume penjualan yang sedemikian besar.
Di lain pihak, bayangkan berapa besar kerugian/ biaya kesehatan yang dikeluarkan sebuah keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk menanggung penyakit saluran pernafasan yang diakibatkan oleh zat berbahaya dalam rokok atau smoking-related diseases lainnya.

Di beberapa negara maju begitu ketatnya peraturan ditegakkan pemerintah untuk para perokok.

Sebagai contoh, harga 1 bungkus rokok di kawasan negara Uni Eropa bisa berkisar sekitar 5 Euro (~ 60 ribu rupiah kalau dikonversi) dan tidak bisa dibeli eceran per batang tentunya.
Karena harga rokok yang mahal, banyak mahasiswa Indonesia yang tadinya perokok berat jadi mengurangi frekuensinya bahkan berhenti merokok selama berada di Eropa.
Aturan untuk membeli rokok juga ketat, hanya bisa dibeli di toko tertentu dan ada larangan usia minimum yang diijinkan.
Penjual rokok yang menjual rokok kepada anak di bawah umur tentunya bisa kena sanksi juga.

Selain itu fasilitas umum yang harus bebas asap rokok (contohnya sekolah, rumah sakit, dst) juga tersedia pojok khusus dimana para perokok hanya boleh merokok disitu.

Di negara maju juga dilarang untuk mondar-mandir di jalan umum sambil merokok misalnya. Dan dendanya mahal kalau kita melanggar aturan tsb!

Bahkan kalau kita menonton serial TV yang berasal dari USA, tidak boleh ada tayangan orang dewasa merokok!
Kalau ada pun, biasanya gambar rokoknya disamarkan (tidak boleh terlihat jelas). Laporan VOA juga menyebutkan bahkan di televisi tayangan iklan rokok sudah dilarang.
Iklan rokok di ruang publik (billboard/ papan pengumuman) sangat dibatasi dalam segi ukuran, maupun konten- tidak seperti di Indonesia dapat kita lihat billboard berukuran besar biasanya dipenuhi oleh iklan rokok sepanjang jalan.

Ini menunjukkan seberapa kuat komitmen pemerintah di Amerika dan negara maju lainnya membuat aturan tentang rokok supaya rakyatnya tetap sehat.

Kenapa sih pemerintah di negara maju bisa menegakkan aturan seperti itu sedangkan di Indonesia tidak bisa?

Salahsatu jawabannya tentu terletak pada sistem pembiayaan kesehatan yang berbeda.

Di negara maju, setiap orang diharuskan mempunyai asuransi kesehatan.
Entah asuransi itu dipotong dari pajak pendapatan, sistem subsidi silang, atau sumber pembayaran premi (dari pihak swasta).

Pooling dana pembiayaan untuk kesehatan itu yang nantinya akan dialokasikan untuk kesehatan. Apakah nanti akan masuk ke program promosi kesehatan, atau prevensi, atau kuratif dan seterusnya.

Tentunya semua orang sebenarnya mengetahui dampak buruk dari merokok (ini diketahui oleh pemerintah negara maju maupun pemerintah Indonesia) yaitu gangguan pernafasan dan jantung, stroke/ pecah pembuluh darah di otak, impotensi/ gangguan ereksi, kematian dini pada bayi (jika ibu hamil merokok) dan sebagainya.

Nikotin juga merupakan racun yang bersifat additif (menyebabkan ketergantungan) tapi pasal ini hilang dari UU tentang rokok karena dicurigai ada 'money politic' di belakangnya.
Maklum lah, apa sih yang gak bisa dibeli di negeri kita ini.

Kembali ke soal sistem pembiayaan negara maju, kenapa mereka lebih peduli mengatur UU dan pelaksanaan soal rokok merokok ini.
Soalnya, dalam jangka panjang, jika banyak perokok aktif yang seenaknya merokok dan juga perokok pasif terkena dampaknya, maka pemerintah harus mengeluarkan biaya yang sangat banyak untuk mengobati (kuratif) mereka-mereka yang terkena penyakit diakibatkan karena rokok (smoking-related diseases).

Dan ini bukan biaya yang sedikit, karena biasanya kalau sudah terkena penyakit gangguan pernafasan, penyakit jantung koroner, stroke ini membutuhkan penanganan dan terapi yang sifatnya tahunan (kronis) bukan hanya sekedar disuntik antibiotik langsung sembuh.

Akibatnya, pemerintah negara maju akhirnya memutuskan :
' Daripada kita keluar duit banyak nantinya gara-gara orang banyak yang sakit daripada rokok, mendingan kita bikin aturan/ program pencegahan aja supaya nanti orang gak banyak yang sakit.'

Jadi, untuk pemerintah di negara maju, mending keluar budget untuk promosi dan preventif (dalam hal ini aturan merokok) daripada keluar lebih banyak nantinya.

And it is a smart decision.

Kalau di Indonesia bagaimana?

Di Indonesia memang sulit diterapkan karena :

1. Sistem pembiayaan kita tidak ditanggung oleh pemerintah,  sebagian besar pembiayaan kesehatan berasal dari out of pocket payment (alias dibayar dari kantung sendiri).
Oleh karena itu, kalau pemerintah mau bikin aturan dilarang merokok, paling bagus dimulai dari lingkungan pemerintahan.

Contoh: PNS dilarang untuk merokok!
Karena kalau PNS sakit gara-gara rokok nanti kan ditanggung Askes (negara) jadi klop lah konsepnya dengan sistem di negara maju.

Saran lainnya dibuat aturan: Orang yang miskin dan tidak punya asuransi kesehatan tidak boleh merokok. Soalnya nanti kalau mereka sakit kronis tentunya akan mengeluarkan duit lebih banyak untuk berobat dan akan semakin miskin kalau tidak punya asuransi kesehatan.
Pemikiran yang masuk akal juga kan?

Selain itu yang tidak boleh merokok adalah tentunya anak yang dibawah umur 21 tahun, yang tidak punya informasi bahwa merokok itu berbahaya dan punya zat additif, dan mereka yang nantinya tidak dapat menanggung dampak negatif asap rokok terhadap kesehatan (contoh orang yang punya asma, punya gangguan kesehatan sebelumnya).

2. Indonesia termasuk penghasil tembakau terbesar di dunia.
Tentunya banyak pihak-pihak yang merasa dirugikan kalau industri rokok banyak aturannya.

Salahsatu orang terkaya di Indonesia (dari 5 besar orang terkaya) adalah pemilik pabrik rokok!
Ini sangat ironis mengingat industri ini dijalankan oleh orang-orang yang penghasilan minimum-nya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari, belum tentu juga mereka punya asuransi kesehatan kalau sakit.

Orang-orang yang bekerja di industri produksi rokok biasanya juga dapet jatah rokok gratis.
Ini saya ketahui karena kakek saya dulu juga pernah bekerja di industri ini dan selalu dapet jatah rokok gratis (beberapa pak) yang akhirnya kita bagi-bagikan ke tukang sampah, pegawai yang kerja dst.

Tentunya bagi-bagi rokok gratis ini penting untuk menimbulkan ketergantungan.

Siapa sih yang gak mau nyoba kalau gratis?

Itu juga sebabnya kalau ada event yang disponsorin oleh perusahaan rokok selalu ada acara bagi-bagi rokok gratis.

Semua orang pasti pengen lah kalau gratis mah!

3. Banyak juga yang diuntungkan kalau banyak orang sakit (di Indonesia)

Berkaitan dengan sistem pembiayaan tadi yang sudah saya uraikan...
nah, nanti kalau ada orang sakit kan orang akan selalu pergi ke dokter, atau ke layanan kesehatan.

Tentunya kalau banyak orang yang sakit akan mendatangkan pemasukan juga bagi industri kesehatan kuratif.

Jadi, selama industri kesehatan masih berorientasi pada kuratif dan bukan promosi atau preventif, semestinya akan sangat diuntungkan kalau banyak orang yang sakit.

Apalagi ini sakit kronis yang membutuhkan perawatan jangka panjang terus menerus. Artinya pasien akan datang beberapa kali, dengan waktu beberapa lama, dan artinya sama dengan pemasukan bagi pihak penyedia layanan kesehatan.

Artinya, penyedia layanan kesehatan juga harus diberi insentif kalau punya program yang berorientasi pada promosi dan prevensi.
Ini hal yang sering dilupakan, sehingga akhirnya program promosi dan prevensi kesehatan sering diambil alih oleh pihak LSM misalnya, atau aliansi berbasis komunitas dan bukan praktisi kesehatan itu sendiri.

Muncul sedikit titik cerah, menurut blog VoA - Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih menyatakan bahwa pemerintah akan mengatur tentang pengendalian tembakau, dimana nikotin yang terkandung didalamnya akan dianggap zat addiktif (=dapat menimbulkan ketergantungan)  sama seperti alkohol dan zat psikotropika lain.

Kalau pasal dan pengaturan pengendalian tembakau ini sudah final, mudah-mudahan kita akan melihat nanti di masa depan: bahwa ruang publik adalah sebuah ruangan yang bebas asap rokok, dapat dinikmati oleh semua orang tanpa takut terkena infeksi saluran nafas.
Dan anak-anak kecil boleh menghirup udara segar, tidak dicekoki oleh kepulan asap orangtuanya.

Konser Lady Gaga aja katanya sudah dinyatakan haram, tinggal kita lihat saja apakah pemerintah juga berani bersikap serupa pada rokok. 

Friday, December 23, 2011

Ide untuk Indonesia

Punya ide untuk Indonesia?

Ikutan '+' Project aja dari Philips!

Ide saya untuk Indonesia adalah untuk meningkatkan akses layanan kesehatan,
judulnya 'Tabungan Ibu'.

Kenapa Ibu?

Wanita dan khususnya seorang Ibu, sangat menarik perhatian dan juga kepedulian saya sebagai praktisi di bidang kesehatan.

Angka kematian Ibu di Indonesia (sebagai salahsatu indikator kesehatan) merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
Sayangnya, angka kematian Ibu yang tinggi ini bukan gara-gara kita (Indonesia) gak punya tenaga dokter/bidan yang handal.
Dokter/tenaga kesehatan kita tidak kalah pintar dan handal dibanding tenaga kesehatan di negara maju, dalam hal menangani pasien. Tapi teteup aja angka kematian Ibu kita tinggi walaupun makin banyak orang masuk sekolah dokter/bidan.

Rasio tenaga kesehatan yang tidak berimbang dibanding jumlah pasien yang harus dilayani dan distribusi sebagian besar tenaga kesehatan yang tidak merata (perkotaan > pedesaan) menyebabkan beratnya beban kerja para tenaga kesehatan di Indonesia.

Salahsatu penyebab lainnya, menurut pengamatan saya adalah karena sistem pembiayaan di Indonesia.
Saat ini sistem pembiayaan di Indonesia sebagian besar (60-80%) masih dibebankan pada pasien (user fees/ out-of pocket payment).
Ini berbeda dengan sistem pembiayaan di negara-negara yang lebih maju dimana hampir semua orang dicover oleh asuransi kesehatan (universal coverage).

Dampaknya tentu saja sangat jauh berbeda.
Pengalaman saya sewaktu sekolah di Belanda/Denmark (yang menerapkan sistem universal coverage) ketika jatuh sakit, saya gak usah mikir-mikir dapet duit dari mana kalau mau berobat ke dokter.
Karena toh dengan adanya asuransi kesehatan, bisa dibilang saat berobat ke dokter jadi gratis.
Obat masi harus dibeli sih, tapi kan lumayan kalau layanan kesehatan sudah ditanggung negara.

Berbeda dengan pengalaman sewaktu di Indonesia, ketika saya sakit mata dan harus dilakukan operasi kecil- saya harus keluar duit dari kantung sendiri karena asuransi dari kantor sudah habis masa berlakunya.
Masih mending saya punya uang untuk biaya berobat, dan juga kalau diobati sama kolega suka dapet harga 'diskon'.

Tapi gimana dengan mereka-mereka yang gak mampu?

Orang dari kalangan ekonomi lemah umumnya menghindari ke praktek dokter, bukan karena mereka gak percaya dokter, tapi karena ke dokter identik dengan mahal!
Makanya bisa dibilang pengobatan alternatif (contohnya dukun) sangat 'menjamur' dan diterima di Indonesia, karena itulah solusi layanan kesehatan buat mereka yang gak mampu pergi berobat ke dokter.

Solusi yang saya tawarkan disebut Tabungan Ibu, karena memang khusus untuk wanita atau Ibu yang telah mempunyai anak.

Kalau seorang Ayah, punya uang lebih, biasanya akan dia habiskan untuk beli rokok, atau sesuatu yang sifatnya menyenangkan kepentingan pribadi.
Kalau seorang Ibu, punya uang lebih, biasanya akan dia habiskan untuk kepentingan keluarga/ anak-anaknya. Seorang Ibu secara alamiah memang punya sifat/ jiwa yang rela berkorban.

Oleh karena itu, dengan adanya tabungan Ibu, saya harapkan akan lebih banyak kaum ibu dan anak-anak yang bisa mendapat akses layanan kesehatan.
Ini bukan sesuatu yang mustahil, di Indonesia yang jumlahnya 236 juta penduduk ini, kita punya potensi yang besar untuk sebuah perubahan.

Silakan baca tentang ide saya, dan vote untuk mendukung perbaikan akses kesehatan bagi mereka yang tidak mampu ^^

Tabungan Ibu: Solusi alternatif untuk pembiayaan kesehatan

Saturday, November 19, 2011

Public speaking :: Learning experience

Just yesterday I made an oral presentation in local symposium in my hometown (BIDEAS).

The presentation was basically from my thesis research and most of the audiences were people that I already knew through med school or my health research unit.

But still, every time I have to made a presentation, I got a feeling of nervous - despite I have prepared it very well. I know the contents and very informed about what I was doing throughout my research. And of course, I made my own presentation and rehearsed it couple of times days before.

I have talked to myself that: 'There's nothing to worry about, these people won't harm you' and blah blah to motivate myself.

Generally speaking, I would say it's a pity that we're Indonesian are always unprepared for public speaking since we were young.

Just before I left Netherlands, me and my friend (we both Indonesians who experienced master program abroad), who also acknowledged that we're tend to be unprepared for public speaking.

Also in the preparation for material. For example in scientific program, either the speaker always put too much information that it's just too difficult to digest or s/he would present it without enthusiasm - which makes it perfect for audiences to take a nap after lunchtime.

My first learning experience in public speaking, well not really public, it was in a class contained of 20 people actually- was in Amsterdam. I was taking a sexual reproductive health course in Royal Tropical Institute, and they gave us a group assignment. We had to made a small literature review and made a presentation out of it.
At that moment, I was pretty nervous, not that I didn't grasp the material. I was one of the most experienced student in the class really, with enough work experiences to share.
But I had to made a presentation (shared with others students) in English, which is not my first language. And I was not really prepare for public speaking, during my whole life. So lame.

So all I did was encouraging myself, that it couldn't be so bad- and even though it would be bad, it's just a class contained of 20 people that would remembered me as jittery young doctor from Indonesia, forever, anyway...

It turned out well, it's normal to have a high-pitched nervous voice in the beginning but then, as I familiarized with the situation- I could see myself took control.

Back to the conversation that I made with my friend, we both agreed that in Netherlands (or mostly west Europe) students were used to make a oral presentation/ public speaking since they were young. And we could see that is really an advantage if you want to be internationally (or nationally) recognized as professionals, either as a lecturer, researcher/scientist, or whatever it is. Because the presentation/ public speaking is how you 'sell yourselves' and how you also sell your content of presentation, as one package.

If I could made a change in my med school, I will definitely propose that med students should engage more in scientific events and practice for oral presentation/ public speakings.

During the International conference last month in Barcelona, I realized that Indonesians are not lack of experts nor the quality of experts themselves are highly competitive for international standard. But mostly we're Indonesians are (1) not confident enough, to present something in English (even though some of us are good enough if we have to present it in Indonesians), and/or (2) for the same reason, not confident to present it in the front of international scope.
Which is very unfortunate for scientific world, because we have so much to share in terms of knowledge or experiences.

Again, I will mention Helen Rees- my favorite speaker throughout the International conference in Bcn. Just checked out in the website and they put her presentation (in .pdf file) so we can download it and take a look how neat she has made it. Also, the most stunning presentation that I've seen in my whole life (besides Elizabeth Pisani when she's giving lecture in our class in Copenhagen).

Hope you enjoy it too :)

Saturday, October 29, 2011

What makes Indonesian (not) healthy ? [part one]

Do you know if you were born in Japan you will probably live 40 years longer than somebody who were born in Afghanistan?*
*Life expectancy for Countries

And the fact that Indonesian people have life expectancy 12 years shorter compared to their neighboring country, Singapore !
This intriguing fact is something that I learned during my core course in Amsterdam about health determinant**.
**What determines health?

It has haunted my mind and spirit as medical doctor and public health practitioner.


Epidemiology and statistics, branch of study that talked about important numbers/indicators on population, used to be unpopular class when I was a student in medical school.


I remember how bored it was and demotivated most of us to really learn something from it, or put it into practice.

Few years after I finished my medical school, I realized how important it could be.

It does tell whether we're moving from one point to another (or not), make any good or bad progress as nation in terms of managing health.

Maternal mortality rate (MMR) in Indonesia is one of the highest in Southeast Asia, but if you stratified by region- some more developed region (West Java) has lower MMR (lower than Southeast Asia rate in average) while another region, Papua has MMR 3 times higher than national average!

Back to my main question, as a title: ' What makes Indonesian (not) healthy ?'

I would use the framework borrowed from Canadians :: Population Health.


This is actually looks like my assignment as master student in International Health program-
but in the name of knowledge, science, humanity and nationalism- I write this for you all who interested in this subject (as much as I do).


1. Income and social status


Pretty much makes sense for all of us, people who are poor would more likely have worse health status than those who are richer.

Specifically in countries like Indonesia whereas most of the health expenditure come from out-of pocket (user fees) expenses.


Those who are poor assumed would spend less money on health care (they would prioritize on something that are considered basic needs e.g. foods).

And this group would likely to come late (if they happen to be sick) to the doctors, they would collect money first, seek out alternative treatment etc- in this out-of-pocket systems.

Because here doctors/health care institutions are considered as something 'expensive' or luxurious need for the poor.


It's likely this could be the case: they (the poor) couldn't afford money to go to the doctors, they become even sicker. When they go to the doctor, their worsened conditions would make them pay ever more (more treatment, more medication) compare if they seek treatment earlier.


next on health determinants . . . .

2. Social support networks


3. Education and literacy


4. Employment / Working condition


5. Social environment

Friday, October 28, 2011

Public transport :: Never ending problems

I love public transport.

Here or moreover abroad.

I am people person, and even though I know I could take my own car, joined with others who have their own personal car and make traffic jam in the street altogether- there were times that I kept telling myself I should stay to my idealism and take public transport.

For me, taking a public transport means a more environmental-friendly approach than personal vehicle (of course). And being in a public transport with people, it's like sharing not just a car but also a life, their stories. Sometimes, it could be very VERY annoying when you're stuck with thoughtless people, who smokes regardless the car was already suffocated enough with 10 persons.
But also there were times it could be a rewarding moment, seeing interaction of people who help each other. Being a witness of such behaviour, I know it was not such a bad idea to stay on public transport.

I admit, though, public transport system in Indonesia is not the safest place in the earth.
In fact, it's one of the dangerous experience that you could have in your whole life.

Just recently, a minivan crashed at the place close to my hometown and few people died.
When I was a young doctor in a hospital, I saw too many cars/motorbikes accidents, some of them due to irrational behavior of the drivers.
It is a crazy and tough life on the streets here.

Back again during my study (or traveling) year in Europe (or elsewhere in Asia), I analyzed what make these developed countries build a success public transport system.
Is it a good system who drive users to oblige or start from capable users who drive the good public transport system?

I've come to the conclusion of: both.
It has to be driven simultaneously by systems (also environmental) and users.

For example, any Indonesian people who have been to Singapore, they know that they have to adhere to such strict regulation (not just transport, but also not to spit in public etc. Gosh).
Or any Germans (mostly they follow the rules) who have been to Indonesia they would find their way out from tricky traffic jams by doing exactly (or almost the same) like any Indonesian.
It's just their adaptation behavior to the systems, either it's good or bad.

Even in Europe, there's a huge difference between public systems in Denmark and in Italy.
My analysis: It's just because Danes have less emotional feelings on the street and stick to the regulation easily than Italians (and oh, I'm on the Italiano side :-)
Biking rules in Netherlands is very laid-back compare to Denmark.
So this is also applied to their personalities, I'd say.

What about in Indonesia?

Here, taking a public transport it's like the option of poor people.
For those who can't afford their own personal motorbikes or cars.
It's very unreliable, chaotic, unsafe, dangerous (remember few weeks or months ago, about raping in public transport. It scares me and a lot of women too, I bet) and it's like risk taking every day when you don't have other choice.

And people, like me, who knows this experience, made a vow to themselves- as soon as I get more money I would buy my own bike/car so I won't stuck in this crazy situation everyday!

too many cars!now we have too many cars in the street!

But that's not a long term solution!

People are getting rich these days.
There will be more people who could afford their own personal vehicles.
There will be more motorbikes and cars in the street (it's already happened actually)
surely, there'll be more traffic jams here and there. We know it already!

At some point, every places in Indonesia, will be like Jakarta.
People are physically and mentally test every day in the streets due to its chaotic conditions.

The solution: We need more public transport, which is secure, reliable and cost-effective (we're not saying cheap, I'm sure a lot of people would rather to pay reasonable price as long it's worth).

We should shout it out loud to our government!
Or basically those who care, if the government burns out with too many task.
It could be public-private-shared organisation, I won't go into detail and it's not my expertise either. But we surely need this, now or later.