Monday, March 19, 2012

Bandung (Indonesia) kapan bebas asap rokok?

Baru saja minggu kemarin saya menghadiri sebuah acara publik bertemakan kuliner di kota tempat kelahiran saya ini. Ya Bandung memang gudangnya pecinta makanan dan inovasi yang bertemakan kuliner . . . . jadi wajar sih kalau disini banyak menerima kunjungan dari warga luar kota setiap akhir pekan.

Konsep acara yang diselenggarakan setahun sekali ini cukup bagus, karena selain mengundang vendor produk makanan, juga ada acara band, art performance, juga tenant fashion dan desain produknya okay.


Selama berada disana, memang penyelenggaraannya terkesan profesional sekali.
Di pintu masuk bisa dilihat ambulans dan pemadam kebakaran yang berjaga-jaga.

Juga ada cooking live performance dan juga suguhan atraksi bertemakan kuliner yang menarik selain pilihan makanan yang beragam.

Sayangnya, sebentar saja bolak balik di tempat itu mata saya mulai terasa perih.
Yah memang ada beberapa orang yang mondar-mandir di ruangan terbuka itu sambil merokok.
Tidak banyak sih, hanya beberapa oknum saja tapi merata di semua penjuru.
Karena tersebar di setiap titik itulah hampir-hampir tidak ada daerah yang bebas asap rokok.


bw pacarngerokok sambil gandeng pacar . . . that is so uncool !


bw anak:: ngerokok sambil bawa anak ::
membiasakan dari kecil kena asap rokok ya nak


Apakah karena acara ini diadakan di ruangan terbuka maka setiap orang merasa bebas untuk merokok?

Memangnya larangan untuk merokok itu hanya kalau berada di ruangan memakai AC saja?

Belakangan saya ketahui dari panitia penyelenggara acara bahwa mereka sesungguhnya sudah menyediakan smoking corner atau sudut merokok khusus supaya para perokok tidak menyebarkan asap kemana-mana.

Sayang sekali, padahal rasanya saya ingin tinggal lebih lama, tapi mata sudah tidak kuat terekspos asap rokok. Juga ibu saya sudah mulai sesak nafas dan kesal kena asap rokok dari orang-orang sekitar.

Baru hari ini juga saya membaca posting dari Aliansi Bandung Bebas Asap Rokok membahas soal permasalahan yang sama.
baca: Mall berkonsep ruang terbuka.

Saya menyadari sesungguhnya banyak orang (terutama yang tidak merokok atau sudah berhenti merokok) selain saya sendiri yang sesungguhnya merasa terganggu dengan adanya asap rokok.

Tapi kenapa sepertinya kita tidak mempunyai hak untuk mengutarakan bahwa kita ingin udara bersih dan bukannya udara yang terkontaminasi asap rokok?

Kenapa orang-orang yang tidak merokok cenderung untuk bertoleransi kepada mereka yang merokok tapi tidak sebaliknya?

Dikatakan dalam blog VOA bertajuk 'Lebih 43 Juta Anak di Indonesia Terpapar Asap Rokok' tgl 18 Maret bahwa Indonesia mengkonsumsi 220 miliar batang rokok per tahun (!) sebagai konsumen terbesar no 3 di dunia setelah Cina dan India (yang juga jumlah penduduk terbanyak di bumi ini).
Akibatnya, tanpa bisa memilih ada lebih dari 43 juta anak di Indonesia hidup bersama perokok dan terpapar asap rokok yang berbahaya, yang juga sumber penyakit saluran pernafasan pada anak.

Bayangkan berapa besar keuntungan yang diraup perusahaan produsen rokok di Indonesia dari volume penjualan yang sedemikian besar.
Di lain pihak, bayangkan berapa besar kerugian/ biaya kesehatan yang dikeluarkan sebuah keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk menanggung penyakit saluran pernafasan yang diakibatkan oleh zat berbahaya dalam rokok atau smoking-related diseases lainnya.

Di beberapa negara maju begitu ketatnya peraturan ditegakkan pemerintah untuk para perokok.

Sebagai contoh, harga 1 bungkus rokok di kawasan negara Uni Eropa bisa berkisar sekitar 5 Euro (~ 60 ribu rupiah kalau dikonversi) dan tidak bisa dibeli eceran per batang tentunya.
Karena harga rokok yang mahal, banyak mahasiswa Indonesia yang tadinya perokok berat jadi mengurangi frekuensinya bahkan berhenti merokok selama berada di Eropa.
Aturan untuk membeli rokok juga ketat, hanya bisa dibeli di toko tertentu dan ada larangan usia minimum yang diijinkan.
Penjual rokok yang menjual rokok kepada anak di bawah umur tentunya bisa kena sanksi juga.

Selain itu fasilitas umum yang harus bebas asap rokok (contohnya sekolah, rumah sakit, dst) juga tersedia pojok khusus dimana para perokok hanya boleh merokok disitu.

Di negara maju juga dilarang untuk mondar-mandir di jalan umum sambil merokok misalnya. Dan dendanya mahal kalau kita melanggar aturan tsb!

Bahkan kalau kita menonton serial TV yang berasal dari USA, tidak boleh ada tayangan orang dewasa merokok!
Kalau ada pun, biasanya gambar rokoknya disamarkan (tidak boleh terlihat jelas). Laporan VOA juga menyebutkan bahkan di televisi tayangan iklan rokok sudah dilarang.
Iklan rokok di ruang publik (billboard/ papan pengumuman) sangat dibatasi dalam segi ukuran, maupun konten- tidak seperti di Indonesia dapat kita lihat billboard berukuran besar biasanya dipenuhi oleh iklan rokok sepanjang jalan.

Ini menunjukkan seberapa kuat komitmen pemerintah di Amerika dan negara maju lainnya membuat aturan tentang rokok supaya rakyatnya tetap sehat.

Kenapa sih pemerintah di negara maju bisa menegakkan aturan seperti itu sedangkan di Indonesia tidak bisa?

Salahsatu jawabannya tentu terletak pada sistem pembiayaan kesehatan yang berbeda.

Di negara maju, setiap orang diharuskan mempunyai asuransi kesehatan.
Entah asuransi itu dipotong dari pajak pendapatan, sistem subsidi silang, atau sumber pembayaran premi (dari pihak swasta).

Pooling dana pembiayaan untuk kesehatan itu yang nantinya akan dialokasikan untuk kesehatan. Apakah nanti akan masuk ke program promosi kesehatan, atau prevensi, atau kuratif dan seterusnya.

Tentunya semua orang sebenarnya mengetahui dampak buruk dari merokok (ini diketahui oleh pemerintah negara maju maupun pemerintah Indonesia) yaitu gangguan pernafasan dan jantung, stroke/ pecah pembuluh darah di otak, impotensi/ gangguan ereksi, kematian dini pada bayi (jika ibu hamil merokok) dan sebagainya.

Nikotin juga merupakan racun yang bersifat additif (menyebabkan ketergantungan) tapi pasal ini hilang dari UU tentang rokok karena dicurigai ada 'money politic' di belakangnya.
Maklum lah, apa sih yang gak bisa dibeli di negeri kita ini.

Kembali ke soal sistem pembiayaan negara maju, kenapa mereka lebih peduli mengatur UU dan pelaksanaan soal rokok merokok ini.
Soalnya, dalam jangka panjang, jika banyak perokok aktif yang seenaknya merokok dan juga perokok pasif terkena dampaknya, maka pemerintah harus mengeluarkan biaya yang sangat banyak untuk mengobati (kuratif) mereka-mereka yang terkena penyakit diakibatkan karena rokok (smoking-related diseases).

Dan ini bukan biaya yang sedikit, karena biasanya kalau sudah terkena penyakit gangguan pernafasan, penyakit jantung koroner, stroke ini membutuhkan penanganan dan terapi yang sifatnya tahunan (kronis) bukan hanya sekedar disuntik antibiotik langsung sembuh.

Akibatnya, pemerintah negara maju akhirnya memutuskan :
' Daripada kita keluar duit banyak nantinya gara-gara orang banyak yang sakit daripada rokok, mendingan kita bikin aturan/ program pencegahan aja supaya nanti orang gak banyak yang sakit.'

Jadi, untuk pemerintah di negara maju, mending keluar budget untuk promosi dan preventif (dalam hal ini aturan merokok) daripada keluar lebih banyak nantinya.

And it is a smart decision.

Kalau di Indonesia bagaimana?

Di Indonesia memang sulit diterapkan karena :

1. Sistem pembiayaan kita tidak ditanggung oleh pemerintah,  sebagian besar pembiayaan kesehatan berasal dari out of pocket payment (alias dibayar dari kantung sendiri).
Oleh karena itu, kalau pemerintah mau bikin aturan dilarang merokok, paling bagus dimulai dari lingkungan pemerintahan.

Contoh: PNS dilarang untuk merokok!
Karena kalau PNS sakit gara-gara rokok nanti kan ditanggung Askes (negara) jadi klop lah konsepnya dengan sistem di negara maju.

Saran lainnya dibuat aturan: Orang yang miskin dan tidak punya asuransi kesehatan tidak boleh merokok. Soalnya nanti kalau mereka sakit kronis tentunya akan mengeluarkan duit lebih banyak untuk berobat dan akan semakin miskin kalau tidak punya asuransi kesehatan.
Pemikiran yang masuk akal juga kan?

Selain itu yang tidak boleh merokok adalah tentunya anak yang dibawah umur 21 tahun, yang tidak punya informasi bahwa merokok itu berbahaya dan punya zat additif, dan mereka yang nantinya tidak dapat menanggung dampak negatif asap rokok terhadap kesehatan (contoh orang yang punya asma, punya gangguan kesehatan sebelumnya).

2. Indonesia termasuk penghasil tembakau terbesar di dunia.
Tentunya banyak pihak-pihak yang merasa dirugikan kalau industri rokok banyak aturannya.

Salahsatu orang terkaya di Indonesia (dari 5 besar orang terkaya) adalah pemilik pabrik rokok!
Ini sangat ironis mengingat industri ini dijalankan oleh orang-orang yang penghasilan minimum-nya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari, belum tentu juga mereka punya asuransi kesehatan kalau sakit.

Orang-orang yang bekerja di industri produksi rokok biasanya juga dapet jatah rokok gratis.
Ini saya ketahui karena kakek saya dulu juga pernah bekerja di industri ini dan selalu dapet jatah rokok gratis (beberapa pak) yang akhirnya kita bagi-bagikan ke tukang sampah, pegawai yang kerja dst.

Tentunya bagi-bagi rokok gratis ini penting untuk menimbulkan ketergantungan.

Siapa sih yang gak mau nyoba kalau gratis?

Itu juga sebabnya kalau ada event yang disponsorin oleh perusahaan rokok selalu ada acara bagi-bagi rokok gratis.

Semua orang pasti pengen lah kalau gratis mah!

3. Banyak juga yang diuntungkan kalau banyak orang sakit (di Indonesia)

Berkaitan dengan sistem pembiayaan tadi yang sudah saya uraikan...
nah, nanti kalau ada orang sakit kan orang akan selalu pergi ke dokter, atau ke layanan kesehatan.

Tentunya kalau banyak orang yang sakit akan mendatangkan pemasukan juga bagi industri kesehatan kuratif.

Jadi, selama industri kesehatan masih berorientasi pada kuratif dan bukan promosi atau preventif, semestinya akan sangat diuntungkan kalau banyak orang yang sakit.

Apalagi ini sakit kronis yang membutuhkan perawatan jangka panjang terus menerus. Artinya pasien akan datang beberapa kali, dengan waktu beberapa lama, dan artinya sama dengan pemasukan bagi pihak penyedia layanan kesehatan.

Artinya, penyedia layanan kesehatan juga harus diberi insentif kalau punya program yang berorientasi pada promosi dan prevensi.
Ini hal yang sering dilupakan, sehingga akhirnya program promosi dan prevensi kesehatan sering diambil alih oleh pihak LSM misalnya, atau aliansi berbasis komunitas dan bukan praktisi kesehatan itu sendiri.

Muncul sedikit titik cerah, menurut blog VoA - Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih menyatakan bahwa pemerintah akan mengatur tentang pengendalian tembakau, dimana nikotin yang terkandung didalamnya akan dianggap zat addiktif (=dapat menimbulkan ketergantungan)  sama seperti alkohol dan zat psikotropika lain.

Kalau pasal dan pengaturan pengendalian tembakau ini sudah final, mudah-mudahan kita akan melihat nanti di masa depan: bahwa ruang publik adalah sebuah ruangan yang bebas asap rokok, dapat dinikmati oleh semua orang tanpa takut terkena infeksi saluran nafas.
Dan anak-anak kecil boleh menghirup udara segar, tidak dicekoki oleh kepulan asap orangtuanya.

Konser Lady Gaga aja katanya sudah dinyatakan haram, tinggal kita lihat saja apakah pemerintah juga berani bersikap serupa pada rokok.