Kemarin malam saat menyaksikan tayangan berita di salahsatu stasiun TV lokal, saya merasa miris di saat pemerintah setempat dituntut untuk segera menyelesaikan permasalahan banjir (yang diwariskan semenjak jaman pemerintahan Belanda).
Di lain pihak warga yang bermukim di pinggiran kali sungai tanpa merasa bersalah membuang sampah seenaknya, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari sampah yang terbawa aliran sungai.
Sementara dinas setempat mengeruk ratusan kilo sampah dari pintu air untuk mengurangi resiko banjir, ternyata masih banyak orang yang membuang sampah sembarangan di jalan, maupun di pinggir kali, sehingga menyebabkan penyumbatan aliran air.
Jangan salahkan (hanya) pemerintah kalau banjir, selama kita masih membuang sampah sembarangan.
Jadi teringat saat saya tinggal selama setahun lebih di beberapa negara Eropa, dimana banyak hal bisa saya pelajari dari cara mereka mengelola sampah.
Amsterdam contohnya, walaupun berada di bawah permukaan laut tapi kota pusat perekonomian negeri Belanda ini hampir tidak pernah dilanda banjir.
Sistem tata kota-nya memang dibuat sedemikian rupa, dengan banyak kanal dan sistem pemompaan untuk mencegah banjir. Sehingga walaupun curah hujan tinggi hampir sepanjang tahun tapi saya tidak pernah menemui atau mengalami yang namanya kebanjiran.
Di sana juga sangat haram hukumnya membuang sampah sembarangan. Bahkan saat diadakan festival besar atau perayaan dimana banyak orang biasanya minum-minum dan mabuk, mereka masih bisa membuang sampah pada tempatnya. Ini ajaib, artinya kesadaran membuang sampah pada tempatnya begitu melekat di tiap orang.
Sampah juga dipilah karena setiap sampah mendapat perlakuan berbeda.
Sampah organik atau sampah basah (sisa makanan, sayuran, buah, dst) harus ditempatkan dalam kantung plastik berwarna khusus. Malahan di beberapa bagian Prancis, setiap rumah memiliki biopori untuk membuang sampah organik/ sisa makanan ini.
Lalu sampah kertas seperti dokumen, surat, kemasan makanan dari karton harus ditempatkan terpisah pada satu kontainer yang khusus untuk sampah kertas.
Sedangkan sampah plastik (bekas minuman/ makanan) juga mendapat tempat sendiri, dan beberapa botol minuman plastik ukuran besar bahkan bisa ditukarkan dengan uang jika kita mengembalikan ke tokonya.
Ada juga kontainer khusus untuk membuang sampah gelas, karena gelas ini harus dihancurkan sehingga tempatnya terpisah.
Memang kesannya ribet karena setiap orang berarti harus memilah sampah yang dihasilkannya.
Apakah semua orang mau menjalankan aturan ini?
Saya lihat kebanyakan penduduk asli Belanda dan yang sudah lama tinggal sepertinya terbiasa dengan aturan ini, jadi mereka menjalankan tanpa ada masalah. Dan ngobrol-ngobrol dengan ibu kos saya (orang asli Denmark) dia sendiri merasa sudah menjadi kewajiban kalau setiap orang memilah sampah.
Dengan memilah sampah, mereka merasa melakukan sesuatu yang berguna untuk menjaga lingkungan tempat tinggalnya.
Yang tidak ikut aturan ini biasanya adalah teman-teman kuliah yang merupakan pendatang dari negara berkembang contoh, Bangladesh, Pakistan bahkan sesama orang Indonesia sendiri.
Mungkin kita tidak terbiasa diajarkan bahwa sampah yang kita hasilkan adalah tanggung jawab kita. Dengan membuangnya keluar rumah, kita merasa bahwa 'urusan sampah' tersebut beres dan lepas sudah tanggung jawab kita.
Persepsi inilah yang dimiliki kebanyakan orang Indonesia pada umumnya, yang juga menyebabkan masalah sampah tidak akan pernah selesai selama penanganannya selalu diserahkan pada pemerintah.
Sebanyak apapun tempat sampah yang dibeli oleh dinas kebersihan, ataupun sesering apapun sampah dikeruk dari sungai tidak akan menyelesaikan masalah banjir selama mayoritas orang masih membuang sampah sembarangan.
Saya percaya kalau kita ingin perubahan yang baik, harus dimulai dari diri sendiri dahulu.
Oleh karena itu, beginilah sampah diperlakukan di rumah saya.
Sampah sisa makanan sebisa mungkin dikumpulkan di ember terpisah (dan nanti diolah sehingga bisa dipergunakan sebagai pupuk).
Sedangkan sampah yang berasal dari kulit buah atau sayuran dapat dibuat enzim sampah atau eco-enzim. Eco-enzim ini berguna sebagai cairan pembersih rumah tangga dan juga ramah lingkungan karena dapat mengurangi banjir akibat tersumbatnya saluran.
Selain sifatnya yang organik, ampas sampah dari eco-enzim tersebut juga dapat berguna sebagai pupuk.
Botol-botol atau sampah plastik (bekas minuman, shampoo atau sabun) juga biasanya dikumpulkan dan disimpan dalam kantung terpisah untuk diambil pemulung.
Sampah kertas (dokumen, karton, kemasan kertas) biasanya saya kumpulkan juga untuk diserahkan ke tukang loak.
Semenjak pertemuan saya dengan komunitas Sadar Lingkungan (MyDarling: dapat dibaca disini) saya juga mengumpulkan bungkus kopi/ teh instan/minuman instan agar bisa dijadikan bahan baku untuk pembuatan kerajinan tangan (dompet, tas).
bekas kemasan minuman instan ini bisa diolah lagi jadi kerajinan tangan |
dompet yang terbuat dari bekas kemasan teh instan |
Setelah lebih jauh berdiskusi dengan teman-teman di komunitas MyDarling dekat TPS Cibangkong, ternyata salahsatu kesulitan yang mereka hadapi adalah kurangnya bahan baku untuk pembuatan kerajinan tangan ini.
Saat ini produk dompet dan tas yang mereka buat dari bekas bungkus kemasan memang sudah diekspor hingga keluar negri dan banyak permintaan juga dari pameran.
Saya jadi mengingat jaman dulu waktu masih kerja kantoran, ada berapa banyak bungkusan kopi/ minuman instan yang terbuang percuma di tempat sampah. Yang mana bila diserahkan ke tangan ibu Sri dan kawan-kawan di Cibangkong maka sampah tersebut bisa diolah menjadi produk yang punya nilai jual dan mendatangkan penghasilan tambahan.
Mungkin pak walikota Ridwan Kamil bisa membantu teman-teman di Cibangkong; setelah hari khusus untuk bersepeda dan berbahasa Sunda, ada baiknya jika dicanangkan juga hari khusus untuk 'Setor Sampah'.
Siapa tau ini bisa jadi salahsatu solusi untuk mencegah banjir dengan mengurangi sampah plastik daripada dibuang begitu saja ....