Tapi sebelumnya, ada yang ingin saya bagikan sedikit saat-saat dimana saya 'menghilang'.
Sebagian karena kesibukan pekerjaan yang cukup menyita energi dan bulan-bulan terakhir karena kesibukan berlibur, untungnya.
Berlibur ke tempat diluar Indonesia memberi saya kesempatan untuk belajar tentang bagaimana orang luar mengelola hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat.
Contohnya, saat berada di Prancis selatan, sering saya perhatikan saat iklan makanan cepat saji ditayangkan di televisi- selalu dibawahnya tertera tulisan "makanan yang dimakan setiap hari harus dalam porsi seimbang, tidak boleh terlalu banyak (jumlahnya), tidak mengkonsumsi banyak gula dan garam".
Lalu saat iklan minuman ringan atau makanan instan ditayangkan, ada juga pesan serupa berbunyi,
"demi kesehatan, setiap hari harus mengkonsumsi sayuran dan buah dalam porsi cukup."
Ini adalah sebuah contoh bahwa pemerintah setempat peduli dengan kesehatan warganya.
Bahwa dampak buruk dari sering mengkonsumsi makanan cepat saji tentunya sudah diketahui banyak orang. Dengan adanya peringatan seperti ini (dan diulang-ulang) maka pemirsa diseimbangkan dengan informasi dan pilihan cara hidup yang lebih sehat.
Banyak lagi ilmu tentang kesehatan masyarakat yang didapat dari hasil 'studi banding' tersebut, tapi yang ingin saya bagikan sekarang adalah ilmu yang dari negri sendiri.
Ilmu ini didapat dari sebuah tempat pengelolaan sampah di Cibangkong, suatu daerah tak jauh dari tempat Trans Studio Bandung berdiri.
Hari Sabtu kemarin saya dan seorang teman berkesempatan untuk mengunjungi langsung tempat dimana Masyarakat Sadar Lingkungan (MyDarling), yang di-inisiasi oleh ibu Dewi Kusmiati.
Sayangnya, walaupun sebenarnya saya janjian dengan ibu Dewi tapi saat berada disana ternyata beliau sedang berada di RT lain untuk Sekolah Ibu.
Sekolah Ibu ini juga bagian dari program beliau, dimana ibu-ibu diajarkan cara membuat kerajinan dengan sampah sebagai bahan dasarnya.
Dari mana saya mengenal ibu Dewi Kusmiati?
Saat menyaksikan beliau diwawancara untuk KickAndy di MetroTV.
Kekaguman saya terhadap ibu Dewi, yang hidup dari sampah dan mampu memanfaatkan sehingga mempunyai nilai jual, sehingga memberi penghidupan bagi keluarganya dan sekitarnya.
Walaupun alamat yang diberikan beliau kurang jelas, ternyata mudah saja menemukan tempat pengelolaan sampah. Karena rupanya kinerja beliau sudah dikenal di lingkungan sekitarnya, cukup tanya orang saja pasti ketemu.
Karena ibu Dewi mengajar di Sekolah Ibu pada saat saya berkunjung, maka sebagai gantinya ada ibu Sri- sebagai narasumber tentang membuat kerajinan tangan dari sampah.
Ibu Sri ternyata memang dipercaya oleh ibu Dewi, untuk memegang divisi pembuatan kerajinan tangan berupa dompet, tas dari bekas kemasan. Sedang ibu Dewi sendiri lebih fokus pada pengelolaan sampah organik sebagai bahan pupuk cair.
Menurut pemaparan Ibu Sri, bahan dasar yang dibutuhkan untuk pembuatan kerajinan ini bisa berupa bungkus kopi/teh instan (merk gak usah disebut ya). Bisa didapat dari pemulung, atau minta ke warung, atau office boy kenalan (karena di kantor kan biasanya sering ngopi/ ngeteh).
Tentu saja sebelum dijadikan bahan dasar semua bekas kemasan itu harus dicuci/ dibersihkan dahulu.
Satu dompet kecil saja ternyata bisa membutuhkan 66 buah kemasan kopi/teh instan!
Waktu saya tanyakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu buah dompet, ibu Sri sendiri tidak bisa menjawab. Karena mereka melakukan pekerjaannya bersama-sama, ada satu orang yang melipat, satu orang menjahit, satu orang memasang ritsleting.
Hasilnya? Bener-bener rapih dan bagus. Sama sekali tak terlihat seperti sampah lagi pastinya.
Dan saya pun membeli satu dompet yang kecil (untuk tempat uang receh).
Memilih dompet ini proses yang agak sulit karena semua motifnya terlihat menarik, tapi akhirnya pilihan saya jatuh pada dompet yang berbahan dasar bekas kemasan teh tarik [gambar di bawah].
Selain dari bekas bungkus minuman instan, ibu Sri juga menunjukkan sebuah dompet yang terbuat dari bekas plastik yang sering dikasih toko Y*ogya.
Bahan dasar plastik seperti ini proses pembuatannya lebih sulit, makan waktu lebih lama, sehingga harganya juga lebih mahal. Tapi keuntungan dari beli dompet ini tentunya sih waterproof/ tahan air.
Selain menimba ilmu, saat berkunjung ini juga saya berbagi ilmu (dan dua buah botol) enzim buah dari bekas kulit buah untuk ibu Sri dan ibu-ibu lainnya.
Walaupun tampang ibu-ibu ini 'ndeso' tapi mereka sudah mengerti tentang konsep organik dan langsung antusias untuk membuat enzim buah/ eco-enzyme sendiri saat saya jelaskan apa kegunaannya.
Berikut link tentang penjelasan lebih jauh apa itu enzim buah/ eco-enzim buat yang mau bikin sendiri di rumah : )
https://www.facebook.com/klubvegetarian/posts/378731538817074
http://www.sobatbumi.com/solusi/view/182
http://suprememastertv.com/ina/services_subt.php?bo_table=pe_ina&wr_id=123&subt_cont=&show=aw&flag_s=
Berkontribusi bagi bumi yang lebih baik itu sebenarnya mudah, asal kita mau sedikit 'berusaha'.
Mulailah dari diri sendiri untuk sebuah perubahan, dari hal yang paling sederhana, dan mulai dari sekarang.