” Abis master ngapain ? Bakal praktek lagi ? “
Itu dia pertanyaan orang-orang yang pengen tau gimana kelanjutannya setelah saya menyelesaikan program master selama 1 tahun.
Dengan latar belakang pendidikan dokter, tentu aja saya bisa kembali lagi ke negara asal (Indonesia) dan kembali praktek atau melanjutkan spesialisasi.
Tapi untuk saya, buat apa?
Kalau memang ingin terjun di bidang klinis, gak akan kemaren ‘ikut-ikutan’ sekolah master. Keukeuh lagi apply bidang yang paling banyak permasalahannya di Indonesia, yaitu health systems, management and policies = sistem, manajemen dan kebijakan kesehatan.
Menurut pendapat saya, sudah banyak dokter umum ataupun spesialis yang bertebaran di Indonesia. Istilah Sunda-nya mah ‘pabalatak‘.
Sayangnya proporsi tenaga kesehatan ini tidak merata, kebanyakan dokter dan tenaga kesehatan tentu aja lebih suka berdiam di kota-kota besar daripada di pedalaman atau kampung-kampung.
Kenapa? Jawabannya mudah. Karena dimana ada duit, disitu ada prakter dokter.
Mungkin itu jawaban yang terlalu vulgar.
Tapi biarlah, kan ini blog punya saya sendiri
Okeh, penjelasannya adalah : Karena sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia didominasi oleh sistem out-of-pocket.
Dalam sistem out-of-pocket (OOP) ini artinya biaya yang keluar untuk berobat kalo ke dokter, ditanggung oleh pasiennya sendiri.
Dampaknya sudah jelas, mereka yang punya duit akan cenderung bisa memilih dokter sendiri, memilih mau berobat dimana (ke Puskesmas, praktek dokter pribadi, atau langsung ke Rumah Sakit), juga bisa menentukan mau beli obat yang mahal atau menentukan mau periksa laboratorium dkk.
Pada intinya, kalo punya duit (dalam sistem OOP) artinya kita bisa mendapat pelayanan apapun.
Sebaliknya, kalau tidak punya uang?
Mereka yang tidak punya uang, atau yang penghasilannya terbatas (bahasa halusnya) harus memilih jalur alternatif. Yaitu berobat ke tempat yang lebih murah (biasanya dipilih Puskesmas), berobat ke dukun dulu (karena ke dokter mahal), atau mencoba mengobati sendiri. Inilah juga sebabnya kenapa banyak orang miskin suka telat berobat ke dokter (dan kalau sudah nyampe dokter biasanya kena marah lagi: ‘Pak, koq sakitnya nunggu parah gini baru ke dokter…’)
Itulah dia yang terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Itulah juga sebabnya kenapa walaupun banyak dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tambah banyak, tapi tidak mencerminkan bahwa rakyatnya akan semakin sehat.
Karena banyak tenaga kesehatan tidak menjamin rakyatnya sehat jika,
SISTEM KESEHATAN NYA tidak dirubah,
juga MANAJEMEN kesehatannya tidak berubah,
ditunjang oleh KEBIJAKAN kesehatan yang menopang kedua perubahan tersebut.
Mungkin untuk sebagian orang ini teori yang terlalu sulit untuk dimengerti.
Tapi, teruslah membaca, akan saya coba jelaskan konsep ini pada Anda.
Pertama-tama, kita ambil sistem kesehatan di negara maju.
Siapa yang disebut negara maju? Bukan hanya negara yang pendapatan perkapitanya besar, tapi juga negara yang indikator kesehatannya bagus.
Artinya umur harapan hidupnya tinggi, juga angka kematian ibu dan anak yang rendah. Ini semua mencerminkan bahwa negara itu makmur, sehingga kelompok populasi rentan (orangtua, wanita, anak-anak) bisa menikmati pertumbuhan ekonomi negaranya.
Saya ambil contoh dua negara dimana saya pernah merasakan tinggal dan juga nyicip sistem kesehatannya, yaitu Belanda dan Denmark.
Di kedua negara ini, karena sistem politiknya cenderung ke arah sosialis maka sistem kesehatan yang digunakan juga didominasi oleh Social Health Insurance atau asuransi kesehatan sosial.
Pada sistem ini, semua orang yang sudah mempunyai penghasilan (kelompok usia produktif) diwajibkan membayar premi asuransi kesehatan. Biasanya langsung dipotong dari pendapatan. Buat mereka, haram hukumnya gak punya asuransi kesehatan. Karena, biaya ke dokter di negara maju ini sangat mahal.
Jadi, semua orang diwajibkan untuk punya asuransi kesehatan.
Apakah ada orang-orang yang dibebaskan dari premi? Tentu saja ada.
Kelompok veteran (pensiunan), anak-anak, orang yang gak punya kerja, orang yang tidak mampu dst, dibebaskan dari premi tapi masih dijamin oleh asuransi kesehatan.
Prinsip dari Social Health Insurance ini adalah: ‘Mereka yang mampu bayar (kelompok usia produktif), menanggung beban kesehatan mereka yang tidak mampu bayar.’
Secara logika, ini adalah sistem kesehatan yang adil. Ya kan?
Bagaimana kesan saya selagi jadi pasien di negara tersebut?
Untungnya, selama di Belanda (3 bulan lebih) saya jarang sakit. Atau paling sakit ringan yang gak perlu ke dokter.
Tapi waktu di Denmark, pernah saya lumayan sakit (sakit koq bisa lumayan) sehingga merasa perlu ke dokter.
Caranya: di Denmark semua orang punya kartu tanda pengenal (semacam KTP) yang bisa dipakai untuk kartu berobat ke dokter. Kartu ini multifungsi, juga bisa dipake untuk buka tabungan di bank, atau pinjam buku ke perpustakaan, atau buka nomor kartu SIM telefon. Jadi nomor identitas yang ada di kartu ini identik dengan nama kita sendiri. Pada saat kita nelefon dokter untuk bikin janji – nomor identitas inilah yang harus disebutkan.
Owhya, dokter yang bisa mengobati juga hanya dokter tertentu yang tinggalnya dalam wilayah tempat tinggal kita. Dan harus didaftar sebelumnya. Jadi seperti dokter keluarga ASKES lah kurang lebih.
Selanjutnya, saya tinggal datang ke tempat praktek dokter tsb (dekat rumah, jalan kaki hanya 7 menit) sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Lalu menyebutkan nama saya dan nomor identitas. Juga menyertakan kartu saya tentunya. Nunggu sekitar 10 menit karena masih ada 1 pasien anak. Gak berapa lama dipanggil oleh dokternya.
Asik juga karena selain tempat praktek deket dan gak usah tunggu lama, dokternya tertarik untuk ngobrol-ngobrol. Juga dia menyarankan pemeriksaan penunjang dan tes darah. Dibuat lembar referal untuk tes darah ke laboratorium.
Semua konsultasi dan pemeriksaan penunjang tersebut GRATIS, alias gak bayar.
Kenapa bisa, karena sistem kesehatan sosialis itulah. Dipotongnya tentu dari pajak.
Pajaknya juga gak tanggung-tanggung. Sistem pajak yang dianut adalah Progresif (sama seperti di Indonesia, hanya di Denmark pengelolaannya jelas dan tanpa korupsi
Tapi tentu aja walaupun pajak yang dipotong bisa sebesar 40% dari pendapatan, tapi penduduk Denmark dan Belanda lebih bisa merasakan ‘hasil’ dari pajak daripada di Indonesia. Seengga-engga, saya pendatang sementara, sudah bisa merasakan hasil pajak mereka, yaitu fasilitas dan layanan publik yang nyaman termasuk layanan kesehatan.
Itulah sekilas yang saya pelajari saat menempuh program master, dalam bidang international health (yang juga termasuk bidang public health).
Dan sampai saat ini saya yakin, Indonesia sebenernya gak (cuman) butuh lebih banyak dokter atau tenaga kesehatan saja, tapi juga praktisi di bidang ilmu kesehatan masyarakat.
Lihat saja di sekeliling kita, masih banyak pekerjaan rumah yang bisa ditangani pakar bidang ilmu kesehatan masyarakat/ public health : menangani sampah/ waste management, promosi gaya hidup sehat (kampanye anti rokok, pola makan sehat, anti junk food), penyediaan trotoar di jalan (supaya orang yang jalan gak ketabrak motor/ mobil!).
Bisa dibilang itu semua bukan pekerjaan yang sepele, bahkan kalau liat kondisi Indonesia sekarang, ini adalah sebuah tantangan bagi praktisi ilmu kesehatan masyarakat.
Buat saya, pekerjaan itu menarik kalau ada tantangannya. Dan itulah sebabnya public health sebenarnya ilmu yang sangat menarik dan applicable!
Juga saya harapkan akan lebih banyak orang (baik dengan latar belakang medis atau bukan) yang lebih mendalami bidang ini.
Seengga-engganya kalau Indonesia mau semakin maju dan sehat, harus lebih banyak praktisi di bidang ini. Bukan cuman dokter doang yang dibutuhkan.
Lagian, dokter juga manusia . . .