Showing posts with label health system. Show all posts
Showing posts with label health system. Show all posts

Thursday, October 13, 2011

Why Public Health :: Matter of Life

Why Public Health ? Why International Health ?

That question appeared in my mind. And also in minds of others people; friends, colleagues, families, who has questioned my decision. Why am I taking interest of this subject and even pursued my master on this subject.

I would say: Because it's really important (especially in developing country, where I came from).

It's a simple answer, yet defines so many things that we're (Indonesia) lack of.

We have (currently) huge problems in mass transportation, infrastructure, community health, waste managements and sanitation, human capacity, emergency/ disaster preparedness, development problems... Just name it and you could find it here, in Indonesia, the biggest archipelago with 237 millions of population.

homeless, Braga corner
It does really sound fantastic to have such big number for population. It also describe our problem to organize the system (politic, economy, health) that would fit enormous number of citizens, spreading in more than thousands islands, with different needs and characteristics.

But I would limited my theme just into Public Health.
The area that I interested the most.

Back to my question in the first sentences,
' Why Public Health ? '

When I was doing my governmental duty, post graduated from my medical school (I was so proud that I had finally graduated from a long and suffering yet impressive medical study. I was ready to save people's life and also the whole world). I was located in Sumbawa, an island next to east of Lombok. Why I was there is part of my plan, a bit of accident also coincidence.
I was there only about 9 months. But it was enough for me to decide I could not save the world just by saving people's life one at a time.
It was just TOO frustrated.

Basically what I did, I was saving this patient from one disease but then he would died by something else. He would died because he even couldn't get the money to come into the nearest health facility to get treatment in time. He would died due to lack of nutrition. He would died cause his ignorance that simple medication would actually could cure his symptoms.

Another patient that I treated, would just keep coming back for the same issue.
Malaria is highly prevalent in the area, and just medications to cure the symptoms not really actually treat the environmental cause of Malaria.

In the end, I decided that if I really want to save this people, or this nation (in terms of health issue) I have to do something bigger.
And it has nothing to do with being a clinician.

Somebody has to do something. I want to do my part. It's my calling.

So I took a master program in International Health. It took 3 years (I sent my application 3 times, in 3 consecutive years) to get what I want. My whole 1 year entire program was funded by European Union (I got Erasmus Mundus scholarships) and I studied in 2 different universities in Europe; Royal Tropical Institute, Amsterdam and University of Copenhagen, Denmark.
It was a fantastic year and I learned a lot (still a bit from what I should know) about health systems, managements, and policies.
And I am sure this is my passion, this is what I would like to do further in my career path.

Before I got enrolled in my master program, I also had a chance to work as a researcher in the field of HIV. Most of the time I was doing social studies that related to people living with HIV.

Doing this as clinician, (if it's not one's calling) it's even more frustrated.

If only we're clinicians could treat all the symptomatic people with HIV, it still will not eliminate the problem (because far more people with asymptomatic actually need intervention as well).

Most of the time, these people not even aware that they actually AT RISK.
Or those who already aware that they at risk are AFRAID of SEEK further treatment (sex workers and transgenders are highly stigmatized, they hardly seek treatment if they get sexually transmitted infections. Self treatment are pretty common for them).
Or those who already reached the health care facilities, sometimes get DISCOURAGED by the unfriendly approach of health care workers.

This is a chronic disease (and also infectious disease). And it has so many social aspect apart from merely the clinical aspect. It touches issue of gender relation, sexual behaviour, addiction, adherence, stigma and discrimination & so forth.

It's a very interesting subject (for researcher) but also complex and confusing in its intervention.

And it was not easy because it cannot be intervene by only clinical intervention.

You have to talk with religious leaders, political officers, sex workers and their pimps (also the owner of pubs/ karaoke bars), local governments (of course) to really target the cause of social problem of HIV.

As you can see, public health could be indeed a very important and essential aspect in Indonesia- by giving example of HIV epidemic (my interest).

There's also a whole aspect of public health need to target.

Just take a stroll in the streets of Bandung- my hometown- and see how many street kids on the red light asking for small money.

Does it bother you people?

I guess we all know about this fact, yet don't know what to do.
(Or don't care about it anyway).
It was so hopeless and we BLAME to the government how come they let this happen.

Of course we should blame someone when something wrong happen.
But it doesn't solve the problem.

This street kids represents (common) social issues in Indonesia: lack of social insurance, huge social inequality (riches get everything, poor left with nothing), public ignorance etc.

I was so annoyed by this fact!

And I felt it long before I got the chance to study to Europe to see how this wealthier nations managed their health systems and managements.

I would like to do the same for my country! Because this is my country (many expats or international donors would help Indonesia, but few of Indonesian themselves feel the same calling).

I know I could do it in so many ways.

For now, I am writing it down as a promise to myself.

Saturday, September 24, 2011

my learning experience (in PH)

Taken from my other blog http://klinikgratis.wordpress.com/

” Abis master ngapain ? Bakal praktek lagi ? “

Itu dia pertanyaan orang-orang yang pengen tau gimana kelanjutannya setelah saya menyelesaikan program master selama 1 tahun.

Dengan latar belakang pendidikan dokter, tentu aja saya bisa kembali lagi ke negara asal (Indonesia) dan kembali praktek atau melanjutkan spesialisasi.

Tapi untuk saya, buat apa?
Kalau memang ingin terjun di bidang klinis, gak akan kemaren ‘ikut-ikutan’ sekolah master. Keukeuh lagi apply bidang yang paling banyak permasalahannya di Indonesia, yaitu health systems, management and policies = sistem, manajemen dan kebijakan kesehatan.

Menurut pendapat saya, sudah banyak dokter umum ataupun spesialis yang bertebaran di Indonesia. Istilah Sunda-nya mah ‘pabalatak‘.

Sayangnya proporsi tenaga kesehatan ini tidak merata, kebanyakan dokter dan tenaga kesehatan tentu aja lebih suka berdiam di kota-kota besar daripada di pedalaman atau kampung-kampung.

Kenapa? Jawabannya mudah. Karena dimana ada duit, disitu ada prakter dokter.

Mungkin itu jawaban yang terlalu vulgar.

Tapi biarlah, kan ini blog punya saya sendiri :-)

Okeh, penjelasannya adalah : Karena sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia didominasi oleh sistem out-of-pocket.

Dalam sistem out-of-pocket (OOP) ini artinya biaya yang keluar untuk berobat kalo ke dokter, ditanggung oleh pasiennya sendiri.
Dampaknya sudah jelas, mereka yang punya duit akan cenderung bisa memilih dokter sendiri, memilih mau berobat dimana (ke Puskesmas, praktek dokter pribadi, atau langsung ke Rumah Sakit), juga bisa menentukan mau beli obat yang mahal atau menentukan mau periksa laboratorium dkk.

Pada intinya, kalo punya duit (dalam sistem OOP) artinya kita bisa mendapat pelayanan apapun.

Sebaliknya, kalau tidak punya uang?
Mereka yang tidak punya uang, atau yang penghasilannya terbatas (bahasa halusnya) harus memilih jalur alternatif. Yaitu berobat ke tempat yang lebih murah (biasanya dipilih Puskesmas), berobat ke dukun dulu (karena ke dokter mahal), atau mencoba mengobati sendiri. Inilah juga sebabnya kenapa banyak orang miskin suka telat berobat ke dokter (dan kalau sudah nyampe dokter biasanya kena marah lagi: ‘Pak, koq sakitnya nunggu parah gini baru ke dokter…’)

Itulah dia yang terjadi di banyak tempat di Indonesia.

Itulah juga sebabnya kenapa walaupun banyak dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tambah banyak, tapi tidak mencerminkan bahwa rakyatnya akan semakin sehat.

Karena banyak tenaga kesehatan tidak menjamin rakyatnya sehat jika,

SISTEM KESEHATAN NYA tidak dirubah,

juga MANAJEMEN kesehatannya tidak berubah,
ditunjang oleh KEBIJAKAN kesehatan yang menopang kedua perubahan tersebut.

Mungkin untuk sebagian orang ini teori yang terlalu sulit untuk dimengerti.

Tapi, teruslah membaca, akan saya coba jelaskan konsep ini pada Anda.

Pertama-tama, kita ambil sistem kesehatan di negara maju.

Siapa yang disebut negara maju? Bukan hanya negara yang pendapatan perkapitanya besar, tapi juga negara yang indikator kesehatannya bagus.

Artinya umur harapan hidupnya tinggi, juga angka kematian ibu dan anak yang rendah. Ini semua mencerminkan bahwa negara itu makmur, sehingga kelompok populasi rentan (orangtua, wanita, anak-anak) bisa menikmati pertumbuhan ekonomi negaranya.

Saya ambil contoh dua negara dimana saya pernah merasakan tinggal dan juga nyicip sistem kesehatannya, yaitu Belanda dan Denmark.

Di kedua negara ini, karena sistem politiknya cenderung ke arah sosialis maka sistem kesehatan yang digunakan juga didominasi oleh Social Health Insurance atau asuransi kesehatan sosial.

Pada sistem ini, semua orang yang sudah mempunyai penghasilan (kelompok usia produktif) diwajibkan membayar premi asuransi kesehatan. Biasanya langsung dipotong dari pendapatan. Buat mereka, haram hukumnya gak punya asuransi kesehatan. Karena, biaya ke dokter di negara maju ini sangat mahal.
Jadi, semua orang diwajibkan untuk punya asuransi kesehatan.

Apakah ada orang-orang yang dibebaskan dari premi? Tentu saja ada.
Kelompok veteran (pensiunan), anak-anak, orang yang gak punya kerja, orang yang tidak mampu dst, dibebaskan dari premi tapi masih dijamin oleh asuransi kesehatan.

Prinsip dari Social Health Insurance ini adalah: ‘Mereka yang mampu bayar (kelompok usia produktif), menanggung beban kesehatan mereka yang tidak mampu bayar.’

Secara logika, ini adalah sistem kesehatan yang adil. Ya kan?

Bagaimana kesan saya selagi jadi pasien di negara tersebut?
Untungnya, selama di Belanda (3 bulan lebih) saya jarang sakit. Atau paling sakit ringan yang gak perlu ke dokter.

Tapi waktu di Denmark, pernah saya lumayan sakit (sakit koq bisa lumayan) sehingga merasa perlu ke dokter.

Caranya: di Denmark semua orang punya kartu tanda pengenal (semacam KTP) yang bisa dipakai untuk kartu berobat ke dokter. Kartu ini multifungsi, juga bisa dipake untuk buka tabungan di bank, atau pinjam buku ke perpustakaan, atau buka nomor kartu SIM telefon. Jadi nomor identitas yang ada di kartu ini identik dengan nama kita sendiri. Pada saat kita nelefon dokter untuk bikin janji – nomor identitas inilah yang harus disebutkan.
Owhya, dokter yang bisa mengobati juga hanya dokter tertentu yang tinggalnya dalam wilayah tempat tinggal kita. Dan harus didaftar sebelumnya. Jadi seperti dokter keluarga ASKES lah kurang lebih.

Selanjutnya, saya tinggal datang ke tempat praktek dokter tsb (dekat rumah, jalan kaki hanya 7 menit) sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Lalu menyebutkan nama saya dan nomor identitas. Juga menyertakan kartu saya tentunya. Nunggu sekitar 10 menit karena masih ada 1 pasien anak. Gak berapa lama dipanggil oleh dokternya.

Asik juga karena selain tempat praktek deket dan gak usah tunggu lama, dokternya tertarik untuk ngobrol-ngobrol. Juga dia menyarankan pemeriksaan penunjang dan tes darah. Dibuat lembar referal untuk tes darah ke laboratorium.

Semua konsultasi dan pemeriksaan penunjang tersebut GRATIS, alias gak bayar.
Kenapa bisa, karena sistem kesehatan sosialis itulah. Dipotongnya tentu dari pajak.

Pajaknya juga gak tanggung-tanggung. Sistem pajak yang dianut adalah Progresif (sama seperti di Indonesia, hanya di Denmark pengelolaannya jelas dan tanpa korupsi :-)
Tapi tentu aja walaupun pajak yang dipotong bisa sebesar 40% dari pendapatan, tapi penduduk Denmark dan Belanda lebih bisa merasakan ‘hasil’ dari pajak daripada di Indonesia. Seengga-engga, saya pendatang sementara, sudah bisa merasakan hasil pajak mereka, yaitu fasilitas dan layanan publik yang nyaman termasuk layanan kesehatan.

Itulah sekilas yang saya pelajari saat menempuh program master, dalam bidang international health (yang juga termasuk bidang public health).

Dan sampai saat ini saya yakin, Indonesia sebenernya gak (cuman) butuh lebih banyak dokter atau tenaga kesehatan saja, tapi juga praktisi di bidang ilmu kesehatan masyarakat.
Lihat saja di sekeliling kita, masih banyak pekerjaan rumah yang bisa ditangani pakar bidang ilmu kesehatan masyarakat/ public health : menangani sampah/ waste management, promosi gaya hidup sehat (kampanye anti rokok, pola makan sehat, anti junk food), penyediaan trotoar di jalan (supaya orang yang jalan gak ketabrak motor/ mobil!).
Bisa dibilang itu semua bukan pekerjaan yang sepele, bahkan kalau liat kondisi Indonesia sekarang, ini adalah sebuah tantangan bagi praktisi ilmu kesehatan masyarakat.

Buat saya, pekerjaan itu menarik kalau ada tantangannya. Dan itulah sebabnya public health sebenarnya ilmu yang sangat menarik dan applicable!
Juga saya harapkan akan lebih banyak orang (baik dengan latar belakang medis atau bukan) yang lebih mendalami bidang ini.

Seengga-engganya kalau Indonesia mau semakin maju dan sehat, harus lebih banyak praktisi di bidang ini. Bukan cuman dokter doang yang dibutuhkan.
Lagian, dokter juga manusia . . .