Showing posts with label environmental. Show all posts
Showing posts with label environmental. Show all posts

Thursday, November 14, 2013

.: Memilah sampah :.

Musim hujan telah tiba, maka banjir pun mulai bermunculan di sejumlah daerah.

Kemarin malam saat menyaksikan tayangan berita di salahsatu stasiun TV lokal, saya merasa miris di saat pemerintah setempat dituntut untuk segera menyelesaikan permasalahan banjir (yang diwariskan semenjak jaman pemerintahan Belanda).
Di lain pihak warga yang bermukim di pinggiran kali sungai tanpa merasa bersalah membuang sampah seenaknya, tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan dari sampah yang terbawa aliran sungai.


Sementara dinas setempat mengeruk ratusan kilo sampah dari pintu air untuk mengurangi resiko banjir, ternyata masih banyak orang yang membuang sampah sembarangan di jalan, maupun di pinggir kali, sehingga menyebabkan penyumbatan aliran air.

Jangan salahkan (hanya) pemerintah kalau banjir, selama kita masih membuang sampah sembarangan.

Jadi teringat saat saya tinggal selama setahun lebih di beberapa negara Eropa, dimana banyak hal bisa saya pelajari dari cara mereka mengelola sampah.

Amsterdam contohnya, walaupun berada di bawah permukaan laut tapi kota pusat perekonomian negeri Belanda ini hampir tidak pernah dilanda banjir.
Sistem tata kota-nya memang dibuat sedemikian rupa, dengan banyak kanal dan sistem pemompaan untuk mencegah banjir. Sehingga walaupun curah hujan tinggi hampir sepanjang tahun tapi saya tidak pernah menemui atau mengalami yang namanya kebanjiran.

Di sana juga sangat haram hukumnya membuang sampah sembarangan. Bahkan saat diadakan festival besar atau perayaan dimana banyak orang biasanya minum-minum dan mabuk, mereka masih bisa membuang sampah pada tempatnya. Ini ajaib, artinya kesadaran membuang sampah pada tempatnya begitu melekat di tiap orang.

Sampah juga dipilah karena setiap sampah mendapat perlakuan berbeda.

Sampah organik atau sampah basah (sisa makanan, sayuran, buah, dst) harus ditempatkan dalam kantung plastik berwarna khusus. Malahan di beberapa bagian Prancis, setiap rumah memiliki biopori untuk membuang sampah organik/ sisa makanan ini.


Lalu sampah kertas seperti dokumen, surat, kemasan makanan dari karton harus ditempatkan terpisah pada satu kontainer yang khusus untuk sampah kertas.

Sedangkan sampah plastik (bekas minuman/ makanan) juga mendapat tempat sendiri, dan beberapa botol minuman plastik ukuran besar bahkan bisa ditukarkan dengan uang jika kita mengembalikan ke tokonya.

Ada juga kontainer khusus untuk membuang sampah gelas, karena gelas ini harus dihancurkan sehingga tempatnya terpisah.

Memang kesannya ribet karena setiap orang berarti harus memilah sampah yang dihasilkannya.

Apakah semua orang mau menjalankan aturan ini?

Saya lihat kebanyakan penduduk asli Belanda dan yang sudah lama tinggal sepertinya terbiasa dengan aturan ini, jadi mereka menjalankan tanpa ada masalah. Dan ngobrol-ngobrol dengan ibu kos saya (orang asli Denmark) dia sendiri merasa sudah menjadi kewajiban kalau setiap orang memilah sampah.
Dengan memilah sampah, mereka merasa melakukan sesuatu yang berguna untuk menjaga lingkungan tempat tinggalnya.

Yang tidak ikut aturan ini biasanya adalah teman-teman kuliah yang merupakan pendatang dari negara berkembang contoh, Bangladesh, Pakistan bahkan sesama orang Indonesia sendiri.

Mungkin kita tidak terbiasa diajarkan bahwa sampah yang kita hasilkan adalah tanggung jawab kita. Dengan membuangnya keluar rumah, kita merasa bahwa 'urusan sampah' tersebut beres dan lepas sudah tanggung jawab kita.

Persepsi inilah yang dimiliki kebanyakan orang Indonesia pada umumnya, yang juga menyebabkan masalah sampah tidak akan pernah selesai selama penanganannya selalu diserahkan pada pemerintah.

Sebanyak apapun tempat sampah yang dibeli oleh dinas kebersihan, ataupun sesering apapun sampah dikeruk dari sungai tidak akan menyelesaikan masalah banjir selama mayoritas orang masih membuang sampah sembarangan.

Saya percaya kalau kita ingin perubahan yang baik, harus dimulai dari diri sendiri dahulu.

Oleh karena itu, beginilah sampah diperlakukan di rumah saya.

Sampah sisa makanan sebisa mungkin dikumpulkan di ember terpisah (dan nanti diolah sehingga bisa dipergunakan sebagai pupuk).
Sedangkan sampah yang berasal dari kulit buah atau sayuran dapat dibuat enzim sampah atau eco-enzim. Eco-enzim ini berguna sebagai cairan pembersih rumah tangga dan juga ramah lingkungan karena dapat mengurangi banjir akibat tersumbatnya saluran.
Selain sifatnya yang organik, ampas sampah dari eco-enzim tersebut juga dapat berguna sebagai pupuk.

Botol-botol atau sampah plastik (bekas minuman, shampoo atau sabun) juga biasanya dikumpulkan dan disimpan dalam kantung terpisah untuk diambil pemulung.

Sampah kertas (dokumen, karton, kemasan kertas) biasanya saya kumpulkan juga untuk diserahkan ke tukang loak.

Semenjak pertemuan saya dengan komunitas Sadar Lingkungan (MyDarling: dapat dibaca disini) saya juga mengumpulkan bungkus kopi/ teh instan/minuman instan agar bisa dijadikan bahan baku untuk pembuatan kerajinan tangan (dompet, tas).

bekas kemasan minuman instan ini bisa diolah lagi jadi kerajinan tangan

dompet yang terbuat dari bekas kemasan teh instan

Setelah lebih jauh berdiskusi dengan teman-teman di komunitas MyDarling dekat TPS Cibangkong, ternyata salahsatu kesulitan yang mereka hadapi adalah kurangnya bahan baku untuk pembuatan kerajinan tangan ini.

Saat ini produk dompet dan tas yang mereka buat dari bekas bungkus kemasan memang sudah diekspor hingga keluar negri dan banyak permintaan juga dari pameran.

Saya jadi mengingat jaman dulu waktu masih kerja kantoran, ada berapa banyak bungkusan kopi/ minuman instan yang terbuang percuma di tempat sampah. Yang mana bila diserahkan ke tangan ibu Sri dan kawan-kawan di Cibangkong maka sampah tersebut bisa diolah menjadi produk yang punya nilai jual dan mendatangkan penghasilan tambahan.

Mungkin pak walikota Ridwan Kamil bisa membantu teman-teman di Cibangkong; setelah hari khusus untuk bersepeda dan berbahasa Sunda, ada baiknya jika dicanangkan juga hari khusus untuk 'Setor Sampah'.

Siapa tau ini bisa jadi salahsatu solusi untuk mencegah banjir dengan mengurangi sampah plastik daripada dibuang begitu saja ....

Sunday, October 20, 2013

Re-use the unused .: Belajar ilmu mengelola sampah :.

Ya sekian lama menghilang dan belum sempat update blog ini, akhirnya saya kembali lagi dengan posting tentang mengelola sampah.

Tapi sebelumnya, ada yang ingin saya bagikan sedikit saat-saat dimana saya 'menghilang'.

Sebagian karena kesibukan pekerjaan yang cukup menyita energi dan bulan-bulan terakhir karena kesibukan berlibur, untungnya.
Berlibur ke tempat diluar Indonesia memberi saya kesempatan untuk belajar tentang bagaimana orang luar mengelola hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat.

Contohnya, saat berada di Prancis selatan, sering saya perhatikan saat iklan makanan cepat saji ditayangkan di televisi- selalu dibawahnya tertera tulisan "makanan yang dimakan setiap hari harus dalam porsi seimbang, tidak boleh terlalu banyak (jumlahnya), tidak mengkonsumsi banyak gula dan garam".
Lalu saat iklan minuman ringan atau makanan instan ditayangkan, ada juga pesan serupa berbunyi,
"demi kesehatan, setiap hari harus mengkonsumsi sayuran dan buah dalam porsi cukup.
"

Ini adalah sebuah contoh bahwa pemerintah setempat peduli dengan kesehatan warganya.
Bahwa dampak buruk dari sering mengkonsumsi makanan cepat saji tentunya sudah diketahui banyak orang. Dengan adanya peringatan seperti ini (dan diulang-ulang) maka pemirsa diseimbangkan dengan informasi dan pilihan cara hidup yang lebih sehat.


Banyak lagi ilmu tentang kesehatan masyarakat yang didapat dari hasil 'studi banding' tersebut, tapi yang ingin saya bagikan sekarang adalah ilmu yang dari negri sendiri.

Ilmu ini didapat dari sebuah tempat pengelolaan sampah di Cibangkong, suatu daerah tak jauh dari tempat Trans Studio Bandung berdiri.

Hari Sabtu kemarin saya dan seorang teman berkesempatan untuk mengunjungi langsung tempat dimana Masyarakat Sadar Lingkungan (MyDarling), yang di-inisiasi oleh ibu Dewi Kusmiati.
Sayangnya, walaupun sebenarnya saya janjian dengan ibu Dewi tapi saat berada disana ternyata beliau sedang berada di RT lain untuk Sekolah Ibu.

Sekolah Ibu ini juga bagian dari program beliau, dimana ibu-ibu diajarkan cara membuat kerajinan dengan sampah sebagai bahan dasarnya.

Dari mana saya mengenal ibu Dewi Kusmiati?

Saat menyaksikan beliau diwawancara untuk KickAndy di MetroTV.
Kekaguman saya terhadap ibu Dewi, yang hidup dari sampah dan mampu memanfaatkan sehingga mempunyai nilai jual, sehingga memberi penghidupan bagi keluarganya dan sekitarnya.

Walaupun alamat yang diberikan beliau kurang jelas, ternyata mudah saja menemukan tempat pengelolaan sampah. Karena rupanya kinerja beliau sudah dikenal di lingkungan sekitarnya, cukup tanya orang saja pasti ketemu.

Karena ibu Dewi mengajar di Sekolah Ibu pada saat saya berkunjung, maka sebagai gantinya ada ibu Sri- sebagai narasumber tentang membuat kerajinan tangan dari sampah.

Ibu Sri ternyata memang dipercaya oleh ibu Dewi, untuk memegang divisi pembuatan kerajinan tangan berupa dompet, tas dari bekas kemasan. Sedang ibu Dewi sendiri  lebih fokus pada pengelolaan sampah organik sebagai bahan pupuk cair.

Menurut pemaparan Ibu Sri, bahan dasar yang dibutuhkan untuk pembuatan kerajinan ini bisa berupa bungkus kopi/teh instan (merk gak usah disebut ya). Bisa didapat dari pemulung, atau minta ke warung, atau office boy kenalan (karena di kantor kan biasanya sering ngopi/ ngeteh).
Tentu saja sebelum dijadikan bahan dasar semua bekas kemasan itu harus dicuci/ dibersihkan dahulu.


Satu dompet kecil saja ternyata bisa membutuhkan 66 buah kemasan kopi/teh instan!

Waktu saya tanyakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu buah dompet, ibu Sri sendiri tidak bisa menjawab. Karena mereka melakukan pekerjaannya bersama-sama, ada satu orang yang melipat, satu orang menjahit, satu orang memasang ritsleting.


Hasilnya? Bener-bener rapih dan bagus. Sama sekali tak terlihat seperti sampah lagi pastinya.

Dan saya pun membeli satu dompet yang kecil (untuk tempat uang receh).
Memilih dompet ini proses yang agak sulit karena semua motifnya terlihat menarik, tapi akhirnya pilihan saya jatuh pada dompet yang berbahan dasar bekas kemasan teh tarik [gambar di bawah].



Selain dari bekas bungkus minuman instan, ibu Sri juga menunjukkan sebuah dompet yang terbuat dari bekas plastik yang sering dikasih toko Y*ogya.


Bahan dasar plastik seperti ini proses pembuatannya lebih sulit, makan waktu lebih lama, sehingga harganya juga lebih mahal. Tapi keuntungan dari beli dompet ini tentunya sih waterproof/ tahan air.

Selain menimba ilmu, saat berkunjung ini juga saya berbagi ilmu (dan dua buah botol) enzim buah dari bekas kulit buah untuk ibu Sri dan ibu-ibu lainnya.
Walaupun tampang ibu-ibu ini 'ndeso' tapi mereka sudah mengerti tentang konsep organik dan langsung antusias untuk membuat enzim buah/ eco-enzyme sendiri saat saya jelaskan apa kegunaannya.

Berikut link tentang penjelasan lebih jauh apa itu enzim buah/ eco-enzim buat yang mau bikin sendiri di rumah : )

https://www.facebook.com/klubvegetarian/posts/378731538817074

http://www.sobatbumi.com/solusi/view/182

http://suprememastertv.com/ina/services_subt.php?bo_table=pe_ina&wr_id=123&subt_cont=&show=aw&flag_s=


Berkontribusi bagi bumi yang lebih baik itu sebenarnya mudah, asal kita mau sedikit 'berusaha'.
Mulailah dari diri sendiri untuk sebuah perubahan, dari hal yang paling sederhana, dan mulai dari sekarang.

Friday, October 28, 2011

Public transport :: Never ending problems

I love public transport.

Here or moreover abroad.

I am people person, and even though I know I could take my own car, joined with others who have their own personal car and make traffic jam in the street altogether- there were times that I kept telling myself I should stay to my idealism and take public transport.

For me, taking a public transport means a more environmental-friendly approach than personal vehicle (of course). And being in a public transport with people, it's like sharing not just a car but also a life, their stories. Sometimes, it could be very VERY annoying when you're stuck with thoughtless people, who smokes regardless the car was already suffocated enough with 10 persons.
But also there were times it could be a rewarding moment, seeing interaction of people who help each other. Being a witness of such behaviour, I know it was not such a bad idea to stay on public transport.

I admit, though, public transport system in Indonesia is not the safest place in the earth.
In fact, it's one of the dangerous experience that you could have in your whole life.

Just recently, a minivan crashed at the place close to my hometown and few people died.
When I was a young doctor in a hospital, I saw too many cars/motorbikes accidents, some of them due to irrational behavior of the drivers.
It is a crazy and tough life on the streets here.

Back again during my study (or traveling) year in Europe (or elsewhere in Asia), I analyzed what make these developed countries build a success public transport system.
Is it a good system who drive users to oblige or start from capable users who drive the good public transport system?

I've come to the conclusion of: both.
It has to be driven simultaneously by systems (also environmental) and users.

For example, any Indonesian people who have been to Singapore, they know that they have to adhere to such strict regulation (not just transport, but also not to spit in public etc. Gosh).
Or any Germans (mostly they follow the rules) who have been to Indonesia they would find their way out from tricky traffic jams by doing exactly (or almost the same) like any Indonesian.
It's just their adaptation behavior to the systems, either it's good or bad.

Even in Europe, there's a huge difference between public systems in Denmark and in Italy.
My analysis: It's just because Danes have less emotional feelings on the street and stick to the regulation easily than Italians (and oh, I'm on the Italiano side :-)
Biking rules in Netherlands is very laid-back compare to Denmark.
So this is also applied to their personalities, I'd say.

What about in Indonesia?

Here, taking a public transport it's like the option of poor people.
For those who can't afford their own personal motorbikes or cars.
It's very unreliable, chaotic, unsafe, dangerous (remember few weeks or months ago, about raping in public transport. It scares me and a lot of women too, I bet) and it's like risk taking every day when you don't have other choice.

And people, like me, who knows this experience, made a vow to themselves- as soon as I get more money I would buy my own bike/car so I won't stuck in this crazy situation everyday!

too many cars!now we have too many cars in the street!

But that's not a long term solution!

People are getting rich these days.
There will be more people who could afford their own personal vehicles.
There will be more motorbikes and cars in the street (it's already happened actually)
surely, there'll be more traffic jams here and there. We know it already!

At some point, every places in Indonesia, will be like Jakarta.
People are physically and mentally test every day in the streets due to its chaotic conditions.

The solution: We need more public transport, which is secure, reliable and cost-effective (we're not saying cheap, I'm sure a lot of people would rather to pay reasonable price as long it's worth).

We should shout it out loud to our government!
Or basically those who care, if the government burns out with too many task.
It could be public-private-shared organisation, I won't go into detail and it's not my expertise either. But we surely need this, now or later.